Berbicara tentang adat istiadat di Bali dikaitkan dengan arus
modernisasi, masih tetap ajeg dan kuat berakar di hati sanubari
masyarakat Bali. Ilmu hitam yang di kenal dengan istilah "Pengeleakan"
di bali, adalah merupakan suatu ilmu yang diturunkan oleh Ida Sang Hyang
Widi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) dengan segala manifestasinya dalam
fungsinya untuk memprelina ( Memusnahkan ) manusia di muka bumi.
Di bali ilmu tersebut dikenal masyarakat sangat luas sejak dulu, ilmu
ini memang teramat sadis karena dapat membunuh manusia dalam waktu yang
relatif singkat. Ilmu dapat juga menyebabkan manusia mati secara
perlahan yang dapat menimbulkan penderitaan yang hebat dan
berkepanjangan.
Dalam masyarakat bali khususnya yang beragama hindu
dikenal dengan istilah “Rua Bineda” yaitu Rua berarti dua dan Bineda
berarti berbeda yang artinya ada dua yang selalu berbeda, seperti adanya
siang dan malam, ada suka dan duka, ada hidup dan mati, demikian pula
dengan ilmu ini ada ilmu yang beraliran kiri disebut ilmu hutam atau
Ilmu Pengeleakan dan sebagai penangkalnya ada ilmu yang beraliran kanan
atau ilmu putih.
Pengertian Ilmu Hitam
Ilmu
Hitam disebut juga ilmu pengeleakan, tergolong "Aji Wegig" yaitu aji
berarti ilmu, wegig berarti begig yaitu suatu sifat yang suka menggangu
orang lain. Karena sifatnya negative, maka ilmu ini sering disebut
"Ngiwa" ngiwa berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri. Ilmu leak ini
bisa dipelajari pada lontar – lontar yang memuat serangkaian ilmu
hitam. Lontar –lontar artinya buku – buku jaman kuno yang terbuat dari
daun pohon lontar yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran 30 cm dan
lebar 3 cm, diatas lontar diisi tulisan aksara Bali dengan bahasa yang
sangat sakral.
Di Bali ada empat jenis lontar Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan antara lain :
>
1. Lontar Cambraberag.
2. Lontar Sampian Emas
3. Lontar Tanting Emas
4. Lontar Jung Biru.
Lontar
– lontar tersebut ditulis pada jaman Raja Erlangga yang berkuasa di
Kerajaan Kediri yaitu ditulis pada waktu Calonarang masih hidup.
Calonarang adalah nama seorang perempuan dari Desa Dirah yaitu Desa
pesisir termasuk wilayah Kerajaan Kedari. Calonarang berstatus janda
sehingga sering disebut Rangda Naten Dirah yaitu Rangda artinya janda
atau dalam bahasa Bali disebut balu, Naten artinya dari atau berasal dan
Dirah artinya nama suatu desa. Jadi ‘’Rangda Naten Dirah’’ artinya
janda dari desa Dirah. Calonarang adalah Ratu Leak yang sangat sakti
yang pada jaman itu bisa membuat Kerajaan Kediri Gerubug (wabah) yang
dapat mematikan rakyatnya dalam waktu singkat.
Kisah ceritanya adalah sebagai berikut :
Di
Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Erlangga yaitu didesa Dirah ada
sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh
seorang janda yang bernama Ibu Calonarang, mempunyai murid – murid yang
semuanya perempuan dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah
senior antara lain :
- Nyi Larung.
- Nyi Lenda.
- Nyi Lending.
- Nyi Sedaksa.
Ilmu leak ini ada tingkatan – tingkatannya yaitu :
1.
Ilmu Leak Tingkat Bawah yaitu orang yang bisa ngeleak tersebut bisa
merubah wujudnya menjadi binatang seperti monyet, anjing, ayam putih,
kaqmbing, babi betina (bangkung) dan lain – lain.
2. Ilmu Leak
Tingkat Menengah yaitu orang yang bisa ngeleak pada tingkat ini sudah
bisa merubah wujudnya menjadi Burung Garuda dan bisa terbang tinggi,
paruh dan cakarnya berbisa dan matanya bisa keluar api.
3. Ilmu
Leak Tingkat Tinggi Yaitu oaring yang bisa ngeleak tingkat ini sudah
bisa merubah wujudnya menjadi Bade Yaitu berupa menara pengusungan
jenasah bertingkat sebelas dan seluruh tubuh menara tersebut berisi api
yang menjalar – jalar sehingga apa saja yang kena sasarannya bisa hangus
menjadi abu.
Ibu
Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putrid yang bernama
Dirah Ratna Manggali, berparas cantik jelita, tetapi anaknya tidak ada
pemuda yang melamarnya karena Dirah Ratna Manggali diduga bisa ngelelak,
dengan di dasarkan pada hukum keturunan Yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak
maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu.
Ibu Calonarang sangat
sedih bercampur berang. Sedih karena khawatir putrinya bakal jadi
perawan tua, itu berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula
menggendong cucu .
Berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak
dengan demikian pada suatu malam yang kelam Ibu Calonarang memanggil
murid – muridnya untuk membuat Kerajaan Kediri gerubug (wabah) yang
dapat mematikan rakyatnya dalam singkat, sehingga dengan demikian banyak
penduduk yang jadi korban, ada yang muntah berak ada pula penyakit yang
aneh – aneh timbul di sana sini.
Kerajaan Kediri gempar, sehari
hari orang mengusung mayat ke kuburan dalm selisih waktu yang sangat
singkat. Raja Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang
Bagawangita yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang bernama Empu Bharadah
yang di tugaskan oleh Raja untuk mengatasi garubug (wabah) sebagai ulah
onar si Ratu Leak Calonarang .
Empu Bharadah lalu mengatur
siasat dengan cara Empu bahula putra Empu Bharadah di tugaskan untuk
mengawini Diah Ratna Manggali agar berhasil mencuri rahasia ilmu
pengeleakan milak janda sakti itu. Empu Bahula berhasil mencuri buku
tersebut yang dimana berupa lontar yang bertuliskan aksara Bali yang
menguraikan tenteng teknik – teknik pengeleakan. Setelah Ibu Calonarang
mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh Empu Bharadah dangan
memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura –pura kawin dengan putrinya
sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan milik Calonarang.
Ibu
Calonarang sangat marah dan menantang Empu Bharadah untuk perang
tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang
arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri. Maka pertarunganpun
terjadi dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam yaitu
Calonarang dengan penguasa ilmu putih yaitu Empu Bharadah. Pertempuran
berlangsung sangat lama sehingga sampai pagi. Karena ilmu hitam
mempunyai kekuatan hanya pada malam hari saja, maka setelah siang hari
Ibu Calonarang akhirnya terbakar hangus oleh ilmunya sendiri. Dengan
meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda
Kerajaan Kediri bisa teratasi.
Demikian adanya Ilmu Hitam atau
Ilmu Pengeleakan yang sampai sekarang masih berkembang di Bali, karena
masih ada generasi penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di
Bali.
Tuesday, October 16, 2012
Friday, August 24, 2012
Galungan Lan Kuningan
TUMPEK WARIGA
Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku
Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin
dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi,
memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.
ANGGARA KASIH JULUNGWANGI
Hari Anggara, Kliwon, Wuku Julungwangi
atau 15 hari sebelum Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek
Butha dengan mecaru alit di Sanggah pamerajan dan Pura, serta mengadakan
pembersihan area menjelang tibanya hari Galungan.
BUDA PON SUNGSANG
Hari Buda, Pon, Wuku Sungsang atau 7
hari sebelum Galungan. Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu
mulainya Nguncal Balung. Nguncal artinya melepas atau membuang, balung
artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau membuang segala
kekuatan yang bersifat negatif (adharma).
Oleh karena itu disebut juga sebagai
Sugian Pengenten, artinya ngentenin (mengingatkan) agar manusia selalu
waspada pada godaan-godaan adharma.
Pada masa nguncal balung yang
berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang) adalah dewasa
tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak
peliharaan, dan pawiwahan.
SUGIAN JAWA
Hari Wraspati, Wage, Wuku Sungsang, atau
6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan
dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka,
memohon kesucian dan kelestarian Bhuwana Agung (alam semesta).
SUGIAN BALI
Hari Sukra, Kliwon, Wuku Sungsang, atau 5
hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan
dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka,
memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).
PENYEKEBAN
Hari Redite, Paing, Wuku Dungulan, atau 3
hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda
manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang;
Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau berkelahi.
Manusia agar menguatkan diri dengan
memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu.
Secara simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya
nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).
PENYAJAAN
Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2
hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda
manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi
artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin
menaklukkan sesama atau sifat ingin menang.
Manusia agar lebih menguatkan diri
memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis
membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat
dungul).
PENAMPAHAN
Hari Anggara, Wage, Wuku Dungulan, atau 1
hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda
manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam
Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang
ingin berkuasa.
Manusia agar menuntaskan melawan godaan
ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta
Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat).
Secara simbolis memotong babi “nampah
celeng” artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sanghyang
Dharma. Babi dikenal sebagai simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi
juga dapat diartikan sebagai menghilangkan sifat-sifat malas manusia.
Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap
dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun”
dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas
anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di
mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut:
- lamak simbol Reg Weda,
- bakang-bakang simbol Atarwa Weda,
- tamiang simbol Sama Weda, dan
- sampian simbol Yayur Weda.
Di samping itu penjor juga simbol ucapan
terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan
sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka
buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning.
Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
GALUNGAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Dungulan,
merupakan perayaan kemenangan manusia melawan bentuk-bentuk adharma
terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara-Bhatari turun dari
Kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan di Pura, Sanggah
Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas
anugrah-Nya itu.
MANIS GALUNGAN
Hari Wraspati, Umanis, Wuku Dungulan, 1
hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke
keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan
mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Malam harinya mulai melakukan
persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan dharma
dapat dipertahankan pada diri kita seterusnya.
Pemujaan di malam hari selama sembilan
malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut
sebagai persembahyangan Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam)
dimulai berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma,
Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada
Siwa-Parama Siwa).
PEMARIDAN GURU
Hari Saniscara, Pon, Wuku Dungulan, 3
hari setelah Galungan merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan
persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.
ULIHAN
Hari Redite, Wage, Wuku Kuningan, 4 hari
setelah Galungan, Bhatara-Bhatari kembali ke Kahyangan, persembahyangan
di Pura atau Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas
wara nugraha-Nya.
PEMACEKAN AGUNG
Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari
setelah Galungan. Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta
agar tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.
PENAMPAHAN KUNINGAN
Hari Sukra, Wage, Wuku Kuningan, 9 hari
setelah Galungan. Manusia bersiap nampa (menyongsong) hari raya
Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata
Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Sisa, Sada
Siwa, Parama Siwa).
KUNINGAN
Hari Saniscara, Kliwon, Wuku Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Para Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan sampai tengah hari.
Manusia mengucapkan terima kasih kepada
Hyang Widhi atas wara nugrahanya berupa kekuatan dharma serta mohon agar
kita senantiasa dihindarkan dari perbuatan-perbuatan adharma.
Secara simbolis membuat sesajen dengan
nasi kuning sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana
agar mereka mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian hari raya
Galungan – Kuningan.
Selain itu menggantungkan “tamiang” di Palinggih-palinggih sebagai tameng atau perisai terhadap serangan kekuatan adharma.
PEGAT UWAKAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Paang, satu
bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari
rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya kelalaian.
Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan dharma dalam
kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung
berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa.
Saturday, July 28, 2012
Leak,Ilmu warisan leluhur tanah Bali
Leak merupakan suatu ilmu kuno yang
diwariskan oleh leluhur Hindu di Bali. Kata leak sudah mendarah daging
di benak masyarakat hindu di Bali atau asal Bali yang tinggal di
perantauan sebab kata-kata ini sangat sering kita dengar dan membuat
bulu kuduk merinding atau hanya sekedar ga berani keluar malam gara-gara
kata “leak" ini.
Begitu juga keributan sering
terjadi antar tetangga gara-gara seorang nenek di sebelah rumah di tuduh
bisa ngeleak. Bahkan bayi menangis tengah malam, yang mungkin
kedinginan atau perut kembung yang tidak di ketahui oleh ibunya, juga
tuduhannya pasti “amah leak” apalagi kalau yang bilang balian sakti
(paranormal).
Asumsi kita tentang leak
paling-paling rambut putih dan panjang, gigi bertaring, mata melotot,
dan identik dengan wajah seram. Hal inilah yang membuat kita semakin
tajam mengkritik leak dengan segala sumpah serapah, atau hanya sekedar
berpaling muka bila ketemu dengan orang yang bisa ngeleak.
Secara umum leak itu tidak
menyakiti, leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat.
Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri. Yang menyakiti
itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif,
khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam,
iri hati, ingin lebih unggul, ilmu inilah yang disebut pengiwa. Ilmu
pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat seringkali
dicap sebagai ilmu leak.
Tidak gampang mempelajari ilmu
leak. Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Dulu
ilmu leak tidak sembarangan orang mempelajari, karena ilmu leak
merupakan ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari
musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para
petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya. Tujuannya untuk
sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar.
Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia,
karena ilmu leak ini memang rahasia. Jadi tidak sembarangan orang yang
mempelajari. Namun zaman telah berubah otomatis ilmu ini juga mengalami
perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan.
Pada dasarnya ilmu leak adalah “ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci”.
Dalam aksara Bali tidak ada yang
disebut dengan leak, yang ada adalah “Lia Ak yang berarti lima aksara
(memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata
cara tertentu). Kekuatan aksara ini disebut “Panca Gni Aksara”, siapapun
manusia yang mempelajari kerohanian merek apapun apabila mencapai
puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura).
Cahaya ini bisa keluar melalui
lima pintu indra tubuh; telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan.
Pada umumya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut, sehingga apabila
kita melihat orang ngelekas di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah
membakar rambut orang tersebut.
Orang yang kebetulan melihatnya
tidak perlu waswas. Bersikap sewajarnya saja. Kalau takut melihat,
ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas. Dan endih
tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda. Endih leak
bersifat niskala, tidak bisa dijamah.
Pada prinsipnya ilmu leak tidak
mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang, yang di pelajari adalah
bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan
aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa
jalan-jalan keluar tubuhnya melalui “ngelekas” atau ngerogo sukmo.
kata “Ngelekas” artinya
kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar, ini pula alasannya
orang ngeleak apabila sedang mempersiapkan puja batinnya di sebut
“angeregep pengelekasan”.
Sampai di sini roh kita bisa
jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut “ndihan” bola cahaya
melesat dengan cepat. Ndihan adalah bagian dari badan astral manusia
yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan pelaku bisa menikmati
keindahan malam dalam dimensi batin yang lain.
dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya,
- tidak sembarangan berani/boleh keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak, sehingga tidak semua orang bisa melihat ndihan.
- tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati, orang ngeleak hanya main2 di kuburan (pemuhunan) apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya, begini bunyi doanya leak memberikan berkat, "ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta, mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahutama, ong rang sah, prete namah.." sambil membawa kelapa gading untuk dipercikkan sebagai tirta.
Ditinjau dari sumber ilmunya ada 2 jenis ilmu leak:
- Leak Panugerahan adalah kemampuan spiritual yang diberikan oleh Tuhan sebagai gift (hadiah lahir) karena yang bersangkutan memiliki karma yang sangat baik dalam kehidupan sebelumnya. Orang yg menguasai Leak Panganugerahan mampu menghidupkan sinar Tuhan dlm tubuhnya yg diistilahkan dgn “api” dan mampu memadamkannya dgn unsur2 cair yg ada dlm tubuhnya juga. Biasanya unsur2 cair ini akan keluar dalam bentuk ludah/air liur/dahak. Dia juga mampu menyatukan unsur bhuana alit (tubuh manusia) dgn bhuana agung (alam semesta). Dgn demikian ybs mampu menguasai semua makhluk2 halus (jin, setan,dll) yg ada di dalam tubuh manusia dan di alam semesta dalam genggamannya. dan sekali yang menerima anugrah tersebut melanggar aturan atau berbuat diluar kebajikan, maka semua ilmunya akan sirna dan hidupnya pasti menderita. Sehingga apapun yang akan dilakukannya berkaitan dengan ilmu leak, selalu minta ijin terlebih dahulu dari Sesuhunannya atau paling tidak mengadakan pemberitahuan (matur piuning).
- Leak Papalajahan adalah kemampuan yg didapat dgn cara belajar baik dengan meditasi, tapa semadhi atau yoga atau belajar dari guru. orang yg menguasai Leak Papalajahan hanya mampu menghidupkan api saja tanpa mampu memadamkannya. Dia juga tdk mampu menguasai makhluk2 halus yg ada di alam semesta dalam dirinya, tapi bisa memerintahkan mereka dgn jalan memberikan seperangkat sesajen tertentu utk menyenangkan makhluk2 halus, karena sesajen2 ini adalah makanan buat mereka.
Dalam sebuah tayangan episode
televisi ada seorang praktisi leak yang mencoba menghapus kesan buruk
ilmu leak dengan menayangkan prosesi nglekas. Dinyatakan di sana bahwa
kru televisi dari luar Bali pada ketakutan dan menjauh dari sang
praktisi karena melihat perubahan wujud menjadi sangat menyeramkan.
Padahal dari rekaman video perubahan wujud itu tidak tampak sama sekali.
Hanya dari beberapa bagian tubuh sang praktisi mengeluarkan cahaya
terang, terutama mulut dan ubun-ubun, sedangkan dari telapak tangan
keluar asap putih. Itu bedanya mata manusia yang memiliki sukma dan mata
teknologi (kamera).
Jadi kesimpulannya adalah
- leak tidak perlu di takuti, tidak ada leak yang menyakiti,
- takutlah terhadap pikiran picik, dengki, sombong, pada diri kita sebab itu sumber pengiwa dalam tubuh kita. Bila tidak diantisipasi tekanan darah jadi naik, dan penyakit tiga S akan kita dapat, Stres, Stroke, Setra.
- Pada hakekatnya tidak ada ilmu putih dan hitam semua itu hati yang bicara
- Sama halnya seperti hipnotis, bagi psikiater ilmu ini untuk penyembuhan, tapi bagi penjahat ilmu ini untuk mengelabui serta menipu seseorang, tinggal kebijaksanaan kita yang berperan.
- Pintar, sakti, penting namun..ada yang lebih penting adalah kebijaksanaan akan membawa kita berpikir luas, dari pada mengumpat serta takut pada leak yang belum tentu kita ketemu tiap hari.
Di sarikan dari berbagai sumber.
Saya bukanlah seorang praktisi leak, tapi saya banyak mendengar dan
membaca dari para praktisi. Dan mungkin suatu saat ketika saya sudah
siap, tidak tertutup kemungkinan saya juga mempelajarinya.
Sunday, May 20, 2012
Pura Segara Rupek Selat Bali Yoga Semadi Dang Hyang Sidhimantra Leluhur Orang Bali
Kisah tentang pemisahan Bali dengan Jawa, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh, ceritanya adalah:
Prasasti Pasek Berjo Selunglung menyuratkan bahwa Segara
Rupek terbentuk setelah Dang Hyang Sidhimantra beryoga semadi memohon
keselamatan seisi jagat termasuk untuk keselamatan putra tunggalnya
yang bernama Manik Angkeran, yang dipersembahkan sebagai pengayah atau
pekerja pembantu kepada Ida Betara Sanghyang Naga Basuki di Besakih,
Bali.
Dalam Yoga
Semadi kehadapan Sanghyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni sebagai
Penguasa Samudra Raya, Dang Hyang Sidhimantra dititahkan supaya
mengoreskan tongkat tiga kali ketanah, tepat di jalan ceking atau ruas
jalan yang paling sempit. Akibat goresan tongkat tersebut, air laut
terguncang, bergerak membelah bumi. Maka daratan tanah Bali dan Tanah
Jawa yang satu itu pun terpisah oleh lautan. Jawa dan Bali pun terpisah,
jadilah Segara Rupek atau Lautan Sempit yang kini dinamakan Selat
Bali.
Dang Hyang Sidhimantra Keturunan Sapta Rsi
Sapta Rsi
atau Tujuh Pandhita, adalah leluhur orang Bali dari kelompok Warga
Pasek Sanak Pitu. Ke tujuh Resi yang menurunkan Pasek Sanak
Pitu adalah : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Widnyana, Mpu Witadharma,
Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Ke tujuh pandhita ini
adalah putra-putra dari Mpu Agni Jaya yang berasrama di Gunung
Lempuyang. Sebelumnya beliau bergelar Sang Brahmana Pandhita. Beliau
besaudara lima, yaitu Sang Brahmana Pandhita sendiri, Mpu Semeru yang
berasrama di Besakih, Mpu Gana di Gelgel, Mpu Kuturan di Silayukti dan
Mpu Bradah di Kahuripan. Kelima Pandhita tersebut diatas disebut Panca
Tritha. Kelima Pandhita itu adalah putra-putra Bhatara Hyang Agni Jaya
yang beristhana di Gunung Lempuyang.
Sedangkan
Bhatara Agni Jaya adalah putra dari Sanghyang Pasupati, yaitu Ida Hyang
Widhi, yang bersthana di Gunung Mahameru India. Bhatara Hyang Agni
Jaya adalah termasuk Asta Dewata, yang dianggap sebagai putra-putra
Hyang Pasupati. Asta Dewata itu adalah :1.Bhatara Mahadewa bersthana di
Gunung Agung, 2.Bhatara Hyang Putra Jaya juga bersthana di Gunung
Agung, 3. Bhatara Danuh di Ulun Danu Batur, 4. Bhatara Hyang Agni Jaya
sendiri bersthana di gunung Lempuyang, 5. Bhatara Tumuwuh bersthana di
Gunung Batukaru, 6. Bhatara Manik Gumayang bersthana di Pejeng, 7.
Bhatara Manik Galang bersthana di Pejeng, 8. Bhatara Hyang Tugu di Bukit
Andakasa.
Tampak
sekali dalam uraian diatas, bahwa setelah Panca Pandhita keatas lalu
dihubungkan dengan Dewa-dewa manifestasinya Tuhan (Asta Dewata). Hal
ini membuktikan bahwa leluhur diatas itu tidak dapat dilacak lagi.
Namun kendati pun demikian, pengkaitan dengan asta dewata lalu kepada
Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Mahameru, adalah merupakan
petunjuk bahwa leluhur Panca Tirtha itu adalah berasal dari para
Brahmana India, dari sekte keagamaan Siva (mazab Siva). Dan
Pandhita-pandhita yang datang ke Indonesia dari India itu adalah dari
Garis Perguruan (Pasramaan) Maharkandya dan Agastya. Boleh jadi Panca
Pandhita itu leluhurnya adalah garis perguruan Agastya, sebagai pusat
pengajaran mazab Siva.
Panca
Pandita itu, konon mereka berguru ke India setelah selesai
pendidikannya dan setelah didiksa mereka kembali ke Indonesia. Di Jawa
mula-mula mereka mengajarkan agamanya. Kemudian setelah Mahendradatta
kawin ke Bali, empat dari lima saudara itu pun ikut turun ke Bali untuk
mengajarkan Agama Hindu. Berturut-turut datang ke Bali :
- Mpu Semeru. Beliau adalah pemeluk sekte Siva, beliau datang ke Bali tahun 999 Masehi, beliau membuat pasraman di Besakih.
- Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya (sub sekte Siva). Beliau sampai di Bali pada tahun 1000 Masehi. Beliau mendirikan Pasraman di Gelgel.
- Mpu Kuturan pengikut sekte Tantrayana (sumber lain mengatakan Buddha Mahayana). Beliau datang ke Bali pada tahun 991 Masehi. Di Bali beliau menjadi Brahmarsi dengan berasrama di Silayukti Padang.
- Mpu Gni Jaya. Beliau ke Bali tahun 1006 Masehi. Beliau berparahyangan di Gunung Lempuyang. Beliau adalah penganut Sekte Brahmanisme. Di tempat bekas Pasraman beliau sekarang telah berdiri sebuah pura Lempuyang Madia.
- Mpu Bradah tidak ikut ke Bali. Beliau menetap di Jawa, mendampingi Prabhu Airlangga.Di Bali Mpu Agni Jayalah yang menjadi leluhur langsung Warga Pasek Sanak Pitu, melalui putra-putra beliau Sanak Sapta Rsi.
Mpu Bradah
adalah saudara terkecil dari lima Rsi. Beliau tinggal di Jawa menjadi
Bhagawannya Prabhu Airlangga. Beliau berasrama di Lemah Tulis,
Pejarakan Jawa Timur. Beliau adalah pengikut Buddha Mahayana, sekte
Bajrayana.
Mpu Bradah
berputra dua orang, yaitu : Mpu Siwagandhu, dan Mpu Bahula. Mpu Bahula
kawin dengan Ratnamanggali putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah,
menurunkan Mpu Wira Angsokanatha, yang bergelar Mpu Tantular.
Mpu
Tantular berputra 4 orang, yaitu : 1 Mpu Siddhimantra, 2. Mpu
Panawasikan, 3. Mpu Smaranatha dan 4. Danghyang Kepakisan. Rupa-rupanya
ke empat Mpu ini telah lahir pada jaman Singosari. Dan Mpu Tantular
betul-betul umurnya sangat panjang. Mungkin mencapai seratus tahun
lebih.
Dalam garis
keturunan ini Mpu Sidhimantra hanya berputra seorang, yaitu Wang Bang
Manik Angkeran. Ketika mudanya Manik Angkeran gemar berjudi sabungan
ayam. Oleh karena itu ia diasramakan di Besakih untuk menghamba Hyang
Besuki yang berwujud Naga. Ia pun mengambil genta ayahnya. Lalu di
rapalkan Veda Nagastawa. Maka keluarlah Hyang Besuki. Pada puncak
ekornya terdapat manik yang sangat gemerlapan, Wang Bang Manik Angkeran
yang bebotoh, tergiur hatinya ingin memiliki manik itu, yang nantinya
akan dijual. Maka dipotonglah ekor Naga Basuki itu. Hyang Basuki pun
menjadi marah, lalu tubuh Wang Bang Manik Angkeran dijilatnya. Seketika
Wang Bang Manik Angkeran menjadi abu. Hal ini segera diketahui oleh
ayahnya. Mpu Sidhimantra dengan kesidiannya dapat menyambung ekor naga
Basuki itu. Dan Wang Bang Manik Angkeran pun dihidupkan kembali.
Akhirnya Manik Angkeran pun bertobat. Sejak itu Manik Angkeran berhenti
berjudi, lalu menekuni bidang agama. Kemudian ia mediksa atau disucikan
menjadi Mpu dengan gelar Danghyang Manik Angkeran. Beliau beristri
dua. Seorang Widyadari dan seorang lagi dari warga biasa.
Keturunan
Wang Bang Manik Angkeran sekarang tersebar di Bali, adalah generasi
penerus Dang Hyang Sidhimantra pencipta Segara Rupek Selat Bali. Secara
sosiologi pemisahan Bali-Jawa di Segara Rupek dimaksudkan oleh Dang
Hyang Sidhimantra justru guna memproteksi kesucian Bali dari ancaman
migrasi penduduk berlebihan, disamping untuk menekan angka tindak
kriminal.
Thursday, January 19, 2012
Hari Siwalatri
OM SWASTI ASTU
Umat sedharma yang berbahagia, mudah-mudah dalam keadaan sehat selalu dan dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, disini saya mencoba berbagi pengatahuan dengan kawan semua mudah-mudah dapat menambah wawasan kita semua.
Setiap setahun sekali kita merayakan hari raya SIWARATRI dimana hari raya tersebut selalu dihubungkan dengan sebuah cerita Si lubdaka karangan Mpu Tanakung.
Cerita lubdaka bahkan sudah tidak asing lagi bagi kita semua dari SD sampai perguruan tinggi kita pasti mendegar cerita tersbut. Bahkan dalam perayaan-perayaan di pura kita sering melihat pemetasan sendratari Lubdaka yang diperankan oleh Pemuda-pemudi yang sangat atusias sekali mengekspresikan semua kreativitasnya. Tapi tanpa kita sadari bahwa cerita lubdaka tersebut penuh makna dari semua symbol-simbol dari seluruh cerita tersebut yang dipesankan oleh Pengarang-Nya (Mpu Tanakung).
Baik disini saya tidak meceritakan kisah lubdaka lagi. Karna saya yakin dan percaya Umat sedharma semua pernah mendengarkan. Disini saya akan mencoba mengulas tentang makna dari semua symbol dari cerita lubdaka tersebut.
Kita akan kupas satu persatu makna simbolik dari ceirta lubdhaka.
1. Hari Perayaan Siwaratri.
Siwaratri yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan symbol.
Kata ratri berarti malam, Karena itu Siwaratri berarti malam siva. Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang.
Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu (panglong ping 14 sasih kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian ( Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.
2. Makna Kata Lubdaka.
Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat. Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
3. Tempat Tinggal Lubdhaka.
Lubdaka dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa dikisahkan Betara siwa dipuja di puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan tekun memuja siwa (Siwa Lingga) atau yang sering disebut seorang Yogi
4. Alat Perburuan dan binatang Buruan.
Alat bebrburu si Lubdhaka adalah panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan indrianya ( melupakan bekal makanan)
Binatang yang diburu oleh Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binatang buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa ( Siwa).
5. Berngkat berburu pada panglong ping 14.
Hari ke 14 paro terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada pang long ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.
6. Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan.
Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.
7. Berjalan sendirian.
Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut yang berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwrwti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.
8. Menuju arah timur laut.
Menuju kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur symbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.
9. Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .
Simbolik dari merosotnya situasi politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.
10. Tidak seekor binatangpun didapatkan.
Binatang symbol “ ego” sifat binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.
11. Tidak terasa senjapun tiba.
Symbol dari daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.
12. Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang
pohonya.Symbol dari meningkatnya kesadaran denagn jalan mediatasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.
13. Ranu atau danau
Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi, saktinya siwa adalah lambang kesuburan.
14. Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada ditengah danau . Lingga adalah symbol Siwa
15. Memetik daun bilwa.
Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa ( menyebut nama Tuhan berkali-kali),
16. Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).
Kenyataan umum setiap orang berburu pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.
17. Tiba di pondok Lubdaka baru makan.
Perjalanan berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak amkan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem
C. Kesimpulan.
Itulah critera tentang Lubdaka dimana ceritra itu penuh makna dan arti. Seperti yang dikatakan Mpu Tanakung bahwa kita selayaknya dalam hidup ini selalu amuter tutur penehayu, yang artinya berusaha memutar kesadaran dengan cara yang tepat. Salah satunya adalah menjalankan brata siwaratri ini.
Dari cerita diatas dapat kita simpulkan bahwa Lubdaka adalah manusia biasa yang penuh dosa papa, mampu dengan secara kebetulan menjalankan ajaran / memuja Siwa di hari yang ratri, yaitu panglong ping 14 yang mana itu merupakan hari pemujaan Siwa, maka segala dosa yang pernah diperbuat mendapat pengampunan. Artinya, dosa –dosanya itu menjadi berkurang karena perbuatan yang baik, disaat yang tepat.
Demikian Tulisan arikel saya, mudah-mudah kita dapat menambah wawasan kita bahwa cerita lubdaka bukan hanya cerita dongeng belaka tapi Kisah yang sangat luar biasa dan penuh makna.
.
Umat sedharma yang berbahagia, mudah-mudah dalam keadaan sehat selalu dan dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, disini saya mencoba berbagi pengatahuan dengan kawan semua mudah-mudah dapat menambah wawasan kita semua.
Setiap setahun sekali kita merayakan hari raya SIWARATRI dimana hari raya tersebut selalu dihubungkan dengan sebuah cerita Si lubdaka karangan Mpu Tanakung.
Cerita lubdaka bahkan sudah tidak asing lagi bagi kita semua dari SD sampai perguruan tinggi kita pasti mendegar cerita tersbut. Bahkan dalam perayaan-perayaan di pura kita sering melihat pemetasan sendratari Lubdaka yang diperankan oleh Pemuda-pemudi yang sangat atusias sekali mengekspresikan semua kreativitasnya. Tapi tanpa kita sadari bahwa cerita lubdaka tersebut penuh makna dari semua symbol-simbol dari seluruh cerita tersebut yang dipesankan oleh Pengarang-Nya (Mpu Tanakung).
Baik disini saya tidak meceritakan kisah lubdaka lagi. Karna saya yakin dan percaya Umat sedharma semua pernah mendengarkan. Disini saya akan mencoba mengulas tentang makna dari semua symbol dari cerita lubdaka tersebut.
Kita akan kupas satu persatu makna simbolik dari ceirta lubdhaka.
1. Hari Perayaan Siwaratri.
Siwaratri yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan symbol.
Kata ratri berarti malam, Karena itu Siwaratri berarti malam siva. Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang.
Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu (panglong ping 14 sasih kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian ( Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.
2. Makna Kata Lubdaka.
Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat. Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
3. Tempat Tinggal Lubdhaka.
Lubdaka dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa dikisahkan Betara siwa dipuja di puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan tekun memuja siwa (Siwa Lingga) atau yang sering disebut seorang Yogi
4. Alat Perburuan dan binatang Buruan.
Alat bebrburu si Lubdhaka adalah panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan indrianya ( melupakan bekal makanan)
Binatang yang diburu oleh Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binatang buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa ( Siwa).
5. Berngkat berburu pada panglong ping 14.
Hari ke 14 paro terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada pang long ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.
6. Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan.
Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.
7. Berjalan sendirian.
Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut yang berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwrwti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.
8. Menuju arah timur laut.
Menuju kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur symbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.
9. Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .
Simbolik dari merosotnya situasi politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.
10. Tidak seekor binatangpun didapatkan.
Binatang symbol “ ego” sifat binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.
11. Tidak terasa senjapun tiba.
Symbol dari daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.
12. Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang
pohonya.Symbol dari meningkatnya kesadaran denagn jalan mediatasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.
13. Ranu atau danau
Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi, saktinya siwa adalah lambang kesuburan.
14. Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada ditengah danau . Lingga adalah symbol Siwa
15. Memetik daun bilwa.
Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa ( menyebut nama Tuhan berkali-kali),
16. Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).
Kenyataan umum setiap orang berburu pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.
17. Tiba di pondok Lubdaka baru makan.
Perjalanan berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak amkan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem
C. Kesimpulan.
Itulah critera tentang Lubdaka dimana ceritra itu penuh makna dan arti. Seperti yang dikatakan Mpu Tanakung bahwa kita selayaknya dalam hidup ini selalu amuter tutur penehayu, yang artinya berusaha memutar kesadaran dengan cara yang tepat. Salah satunya adalah menjalankan brata siwaratri ini.
Dari cerita diatas dapat kita simpulkan bahwa Lubdaka adalah manusia biasa yang penuh dosa papa, mampu dengan secara kebetulan menjalankan ajaran / memuja Siwa di hari yang ratri, yaitu panglong ping 14 yang mana itu merupakan hari pemujaan Siwa, maka segala dosa yang pernah diperbuat mendapat pengampunan. Artinya, dosa –dosanya itu menjadi berkurang karena perbuatan yang baik, disaat yang tepat.
Demikian Tulisan arikel saya, mudah-mudah kita dapat menambah wawasan kita bahwa cerita lubdaka bukan hanya cerita dongeng belaka tapi Kisah yang sangat luar biasa dan penuh makna.
.
Subscribe to:
Posts (Atom)