Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Free Website Hosting

Wednesday, October 27, 2010

Bencana Alam

Bencana demi bencana alam terjadi dan melanda bangsa ini,Semua bencana datang silih berganti.Tidakkah pernah kita pikirkan bersama,alam ini mulai murka dengan kerakusan manusia...?
Orang-orang yang punya kuasa bertidak semaunya,dengan mengatasnamakan agama,mereka menindas sesama.
Mungkin arwah para pejuang kemerdekaan Ri mulai geram dengan pemerintahan jaman sekarang.
Lagu kebangsaan "INDONESIA RAYA "sangat jarang terdengar lagi.
Masih Ingatkah kita bahwa  NEGARA INDONESIA berdasarkan "PANCASILA"...?
Atau kita sudah lupa akan bunyi dan arti dari isi PANCASILA...
Masihkan NEGARA INDONESIA Berlambangkan 
"BURUNG GARUDA"...?
Lalu kemana LAGU-LAGU NASIONAL INDONESIA....rasa Nasionalisme orang-orang INDONESIA mungkin telah meredup.
Mari kita Renungkan bersama...

Friday, October 22, 2010

Batu Ajaib

Gempar, itulah yang terjadi tatkala sebuah kejadian aneh terjadi di Bumi Bali yang terkenal dengan ketengetannya ini. Jelas saja, hal-hal yang aneh ini terkadang memang tidak masuk akal. Hal serupa juga terjadi beberapa waktu lalu di Desa Padang Tunggal, Desa Duda, Kecamatan Selat, Karangasem. Krama setempat digemparkan dengan adanya batu sebesar mobil carry pic up di dapur seorang krama setempat.
Menemui lokasi desa di mana ada kejadian batu makeber tidaklah begitu sulit. Jika dari Denpasar langsung menuju ke Klungkung, di timur jembatan Tukad Unda ada pertigaan ke Kanan menuju Padangbai sedangkan yang ke kiri menuju Sidemen, Karangasem. Nah jalan ke kiri tersebutlah dilalui, kira-kira sekitar 25 Km ada sebuah pertigaan ke kiri menuju lokasi.
Saat itu sekitar jam setengah 7 (tujuh) malam 12 Desember 2008 lalu keluarga sebuah rumah yang dihuni 3 KK digemparkan dengan masuknya sebuah batu besar ke dalam dapur. Demikian Wayan Konten (70) mengawali ceritanya kepada Bali Aga. Sesampainya kami di lokasi kejadian, mendadak krama berdatangan, berhamburan dari rumahnya menuju lokasi batu terbang. Mereka dengan polosnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. Wayan Konten sendiri tidak tahu dengan jelas kejadiannya, karena ini peristiwa yang sangat langka dan aneh.
“Kalau saja secara alami batu ini jatuh dari atas bukit semestinya dapur tiang sudah hancur dan bahkan rumah warga lainnya di timurnya juga ikut hancur,” ujarnya. Benar memang, dilihat dari begitu besarnya batu ini tidak mungkin bisa jatuh tanpa merusak tanaman di sekitarnya dan bahkan yang rusak hanyalah tembok dapur itu saja. Begitu juga bolong tembok tersebut hanyalah sebesar batu yang masuk dapur itu.
Konten menyebutkan, tempat di mana batu berada, dulunya adalah tempat makanan seperti telur, besar, minyak dan yang lainnya. Namun aneh, makanan-makanan ini tidak mengalami kerusakan sedikitpun. Telur dan beras pun berpindah tempat agak ke timur sedikit.
Sementara di sebelah barat dapur (yang langsung berhadapan dengan tebing bukit yang tingginya sekitar 500 meter_red), juga tidak lesag akibat gelindingan batu besar ini. Uniknya batu tersebut tidak mengganggu kandang babi yang juga ada di sebelah barat dapur ini.
Menurut istri Konten, dirinya tidak mengalami firasat apa-apa sebelum kejadian ini. Sebelumnya hanya terdengar suara angin kencang yang datang dari atas bukit, hal ini juga didengar oleh krama setempat (rumah krama ngomplek-red). Demikian juga  ada yang melihat dari selatan seberkas cahaya merah terbang turun dari atas bukit ini. Cahaya tersebut datang bersamaan dengan terbangnya batu dan gemuruh suara angin dari atas bukit. Kenapa dikatakan terbang? Karena jelas tidak terdengar gelindingan batu besar itu yang memungkinkan membuat getaran di tanah. Dan juga batu tersebut ada di dapur juga tidak merusak dapur. Yang mana lazimnya jika batu berukuran 2×2 meter ini jatuh apalagi dari atas bukit tentunya akan membuat kerusakan yang besar.
Kelihan Adat setempat, Wayan Wartama yang juga pemilik rumah meyebutkan hal yang sama. Mengenai tindak lanjutnya sudah dilaksanakan oleh keluarganya sendiri. Di mana sudah dilaksanakan kegiatan nunasang kepada Jro Tapakan bahkan tidak satu Jro Tapakan saja. Selain tapakan dari Desa setempat juga nunasang ke daerah lain (kawasan Selat). Dari pawisik yang didapatkan dengan jelas disebutkan bahwasannya batu tersebut merupakan palinggihan Ida Bhatara Lingsir Pancering Jagat Manik Angkeran, yang malinggih di Gunung Agung.
Dari hasil pawisik disebutkan Ida Bhatara meminta agar pemilik rumah dan krama setempat ikhlas dengan hal ini. Selain itu juga berkeinginan untuk tinggal di tempat tersebut, dengan membuatkan palinggih di Ratu Dalem. Semenjak nunasang juga sudah dibuatkan banten wong-wongan. Selain itu juga batu besar ini sudah dibalut dengan kain poleng dan kain merah.
Batu Berubah Warna
Wangsuhannya untuk Tamba
Setiap hari banyak krama yang datang, selain ada yang hanya untuk melihat saja, juga ada yang sengaja datang untuk memohon berkah. Selain krama dari Selat dan sekitarnya ada juga yang datang dari Denpasar, dan bahkan ada juga yang datang dari Buleleng. Menurut Sri Keneh, yang juga tinggal di rumah ini menyebutkan orang yang datang ini sengaja datang untuk nunasang tamba karena sejak lama dia inginkan keturunan. Dia datang tanpa ada yang memberi tahu hanya berdasarkan pawisik yang diterimanya lewat mimpi saja.
Sedangkan dari pamuwus sendiri memang benar disebutkan jika ada orang yang minta tamba atau apa saja, agar memakai air wangsuhan dari batu keramat ini. Selain itu juga sangat berguna untuk menyembuhkan binatang piaraan yang mengalami sakit. Disebutkan juga, sebelumnya batu keramat ini berwarna hitam. Namun setelah nusas bawos, ternyata sudah berubah warna menjadi keputih-putihan.
Ida Bhatara juga meminta agar piodalannya  dilaksanakan pada Buda Wage Kelau. Entah kenapa, warga setempat juga tidak mengerti. Namun yang jelas sesuai kesepakatan krama, juga akan dibuatkan palinggih khusus.
Untuk diketahui, batu ini sebenarnya dulunya ada di atas bukit dan sebagian tertanam dan tempatnya pun tidak dipinggir, malahan ada di tepat di tengah bukit yang cukup landai. Selain itu juga setiap rerahinan pemilik lahan sering menghaturkan banten. Di sebelah barat bukit ada Pura Dalem Setempat.

Friday, October 15, 2010

Pura Segara Rupek

TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainkan di Segara Rupek. Dalam peta Pulau Bali, lokasi Segara Rupek ini tepat berada di ujung hidung Pulau Bali. Ini termasuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dari sinilah sesungguhnya jarak dekat antara Bali dengan Jawa dan di sinilah secara historis menurut sumber-sumber susastra-babad, kisah pemisahan Bali dengan Jawa dimulai, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh dan unik.

Bisa dimengerti apabila tak banyak orang tahu betapa penting dan strategis keberadaan Segara Rupek bagi Bali. Untuk mencapai Segara Rupek relatif tidak mudah, bila hendak menempuh jalan darat satu-satunya jalan yang bisa ditempuh mesti melewati jalan menuju ke Pura Prapat Agung dan dari lokasi Pura Prapat Agung ini masih harus dilanjutkan lagi menempuh perjalanan darat sekitar 5 km menelusuri hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

Kondisi sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum memadai demikian kiranya turut pula mempengaruhi Segara Rupek tidak mendapat perhatian semestinya, baik dari kalangan tokoh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan pemimpin di Bali. Di Segara Rupek hingga kini belum ada pelinggih sebagai tonggak atas suratan sejarah, padahal lokasi ini jelas-jelas menjadi babakan dan tonggak penting dalam sejarah Bali.

Berdasarkan sumber susastra maupun berdasarkan keyakinan spiritual, saya menemukan bahwa lokasi Segara Rupek sudah sepatutnya diperhatikan sekaligus di-upahayu. Yang ada sejauh ini masih kurang layak. Menurut lontar Babad Arya Bang Pinatih, Empu Sidi Mantra beryoga semadi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, Danghyang Sidimantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah, tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu air laut pun terguncang, bergerak membelah bumi maka daratan Bali dan tanah Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan, lautan itu dinamakan Selat Bali.

Guna lebih mempertebal rasa bakti sesuai dengan sumber susastra, dan ikut juga mayadnya ngastitiang kerahayuan jagat Bali, bahkan seluruh wilayah Indonesia maka: ngatahun awehana uti; nista, madya, utama ayu jawa pulina mwang banten bali pulina suci linggih dewa, paripurna nusantara. Artinya: setahun sekali dilakukan upacara pakelem, banten dirgayusa bumi, tawur gentuh pada hari Anggara Umanis, Wuku Uye.

Klik to Info :