Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Free Website Hosting

Wednesday, June 22, 2011

Burung Perkutut Bali



Burung Perkutut memang banyak dipelihara orang karena selain kicauanya yang merdu burung ini juga harganya masih relatif murah kecuali perkutut yang kicauan nyaring dan berbeda dari kebanyakan perkutut lainya tak jarang pecinta burung berani membayar dengan harga tinggi, jenis burung perkutut ini burungnya masih relatif banyak, tapi jangan diburu, ditembak ya gan ... kasihan anak cucu kita ntar ngga bisa lihat ,lagian lo diambil dagingnya seberapa sih banyaknya daging burung, burung bagi saya pribadi nyawa sebuah alam rasanya tenang banget kalau dengar kicauan burung disekitar kita jika anda berniat memeliharanya maka peliharalah dengan baik, sykur dikembangbiakan, oke gan ni sedikit pengetahuan tentang burung perkutut.
perkutut (Geopelia striata, familia Columbidae) adalah sejenis burung berukuran kecil, berwarna abu-abu yang banyak dipelihara orang karena keindahan suaranya. Dalam tradisi Indonesia, terutama Jawa, burung ini sangat dikenal dan digemari, bahkan agak lebih "dimuliakan" dibandingkan dengan burung peliharaan lainnya. Perkutut masih berkerabat dekat dengan tekukur, puter, dan merpati. Persilangan (hibrida) antara perkutut dan tekukur dikenal dalam dunia burung hias sebagai "sinom" (bahasa Jawa) dan memiliki kekhasan pola suara tersendiri.


Ciri Morfologisnya :

1. Burung perkutut bertubuh kecil.Panjangnya berkisar antara 20-25 cm.
2. Kepalanya membulat kecil,berwarna abu-abu.
3. Paruhnya panjang meruncing dengan berwarna biru keabu-abuan.
4. Mata burung perkutut bulat dengan iris berwarna abu-abu kebiru-biruan.
5. Lehernya agak panjang dan ditumbuhi bulu-bulu halus.
6. Bulu disekitar dada dan leher membentuk pola garis melintang berwarna hitam dan putih.
7. Bulu yang menutupi badan perkutut berwarna kecokelatan.
8. Pada bulu sayap terdapat garis melintang berwarna cokelat tua.
9. Bulu ekornya yang juga berwarna cokelat agak panjang.
10. Jari-jari perkutut berjumlah 8 dengan kuku-kuku yang runcing.Jadi jumlah jari sebelah kaki adalah 4.
11. Tiga dari empat jarinya ada di depan dan sebuah jari di belakang.
12. Jari-jari perkutut berguna untuk bertengger.

Mau Beli Burung Perkutut Bali @Rp.75.000

Saturday, June 11, 2011

TUMPEK WARIGA




SABAN kali perayaan hari Tumpek Pengatag, sekelumit doa sederhana itu senantiasa terngiang di telinga saya Ketika masih kecil, ibu memang sering mengajak saya ikut mengupacarai sejumlah pepohonan dirumah, terutama yang menghasilkan buah yang bisa dimakan. Doa itu mengandung penghargaan agar sang pohon bisa berbuah lebat (nged) adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti berbuah banyak = lebat) sehingga bisa digunakan untuk keperluan upacara hari raya Galungan yang jatuh 25 hari berikutnya.



Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag - dikenal juga sebagai Tumpek Wariga, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh - dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh tumbuhan. Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.


Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi ala Bali. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kering-kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya, tak semata Bali. Visi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif.



Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi ala Bali menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi.



Hingga tahun 2003 kerusakan hutan di Bali sudah mencapai 50% dari tegalan ideal, sehingga luas hutan di Bali hanya sekitar 18%. Padahal, menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, luas hutan yang ditetapkan adalah 39% dari luas Pulau Bali yang mencapai 5.632,86 Km2. Menyusul tingginya mobilitas penduduk, Bali juga mulai mengalami krisis air. Hal ini dikarenakan mengering dan mengecilnya debit air sebagian dari sekitar 500 mata air dan sungai yang mengalir sepanjang tahun cenderung menjadi sungai tadah hujan. Kondisi ini juga diperparah lagi dengan alih fungsi sawah, irigasi yang mencapai 1.000 hingga 3.000 hektar per tahun serta turunnya kesuburan tanah dengan tersisanya zat hara hanya sekitar 22%.



Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.



Karenanya, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohoran, tapi juga diwujud-nyatakan dengan menanam pohon. serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental.
(Sumber)

Klik to Info :