Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Free Website Hosting

Tuesday, September 29, 2009

Pengendalian Tri Kaya Parisuda

Sangat menarik untuk disimak dharma wacana seorang sulinggih di depan siswa setingkat SMP yang materinya mengaitkan pengendalian tri kaya (pikiran, perkataan dan perbuatan) dalam hubungan hukum karma.
Dijelaskan ada 12 bentuk pengendalian tri kaya yang bila dirinci masing-masing menjadi 3 hal untuk manah (pikiran), 4 hal untuk wacika (perkataan) dan 3 hal lagi untuk kayika (perbuatan). Seperti misalnya pikiran dengki/irihati, kata-kata kasar dan memfitnah, dan perbuatan tidak senonoh seperti berzinah atau berselingkuh. Semua perilaku ini baik atau buruk tidak terlepas dari hukum karma.

Dikutip isi kitab suci Rig Weda tentang sanksi terhadap pelanggaran moral ini yang tidak bisa dibersihkan atau dicuci dengan cara apa pun, khususnya menyangkut perselingkuhan. Dikatakan bila kelak menitis kembali akan menjadi makhluk yang paling rendah derajatnya.

Ketika disinggung perilaku pacaran di usia yang sangat muda, risikonya kelak bila terlahir kembali akan lahir muda yang belum waktunya. Pada saat itu muncul reaksi suara bergumam dari para anak muda itu, suatu sikap spontan yang seharusnya tidak keluar sekiranya anak-anak itu tahu sesana Hindu di hadapan seorang sulinggih. Sampai beliau berujar, sekiranya apa yang disampaikan itu bohong, berarti kitab suci atau lontar suci itu bohong.

Mungkin konotasi perselingkuhan ini rancu dengan istilah kencan yang oleh beliau disebut pacaran. Padahal ucapan beliau itu benar apabila dibahas dari aspek ilmiah, baik dari ilmu kedokteran maupun ilmu psikologi, bagaimana dampaknya perilaku suami istri pada usia sangat muda atau sering disebut di bawah umur. Dari sudut hukum perkawinan pun dilarang, ada batasan usia 19 tahun.

Timbul pertanyaan, bagaimana pendidikan agama Hindu di tingkat sekolah, khusus aspek etika susila ataupun sesana di hadapan orang yang patut kita hormati, seperti kepada orangtua apalagi di hadapan sulinggih. Dari sudut karmaphala memang demikianlah bunyinya, karena karmaphala berfungsi pencegahan. Dari sisi lain, apabila dosa-dosa yang mahabesar itu telanjur telah diperbuat, ajaran agama Hindu yang sangat universal memberikan suatu terapi, dengan syarat pertobatan lahir batin dengan melakukan tapa brata yoga semadi seperti yang diungkap oleh ajaran Siwaratri.


Sumber :
http://www.hindu-indonesia.com

Tuesday, September 22, 2009

Menuju Puncak Batukaru





























Untuk mencapai Puncak Gunung Batu Karu dapat kita tempuh lewat
Jalan Pujungan.Pupuan.Karena dengan melalui jalan ini jalan cukup luas dan
tidak terlalu menanjak.Untuk mencapai puncak dapat kita tempuh kurang
lebih dengan waktu 3-5 jam perjalanan.Didalam perjalanan kita akan disuguhkan
dengan panorama alam yang sangat luar.Dengan pohon2 besar dan lebat
yang tentunya masi sangat alami yang patut kita jaga untuk anak cucu kita nantinya.
Dan setelah sampai dipuncak lagi ,kita akan disuguhkan panorana yang maha luar biasa.

Suasana di Puncak Gunung Batu Karu memanglah lumayang dingin,baik
siang apalagi pada malam harinya.Tapi semua itu akan terbayar
disaat senja dan pagi harinya.Dikala dingin telah usai menusuk tulang,
Kita akan disuguhkan panorama alam yang sangat luar biasa..
Keindahan dari anugrah Tuhan yang Maha Kuasa,sulit aku katakan dengan
kata2,
Puncak BatuKaru,puncak nirwana. ( Liat Gambar lain )

Tuesday, September 15, 2009

Rambut Sedana


PIODALAN RAMBUT SEDANA.
Hari ini jatuh pada Sukra Umanis Merakih,Sanghyang Rambut Sedana juga disebut Dewa Harta Benda.Upakaranya terdiri dari : suci,daksina,peras,penek ajuman,sasodaan putih kuning.Persembahan kepada barang harta benda seperti : emas,manik,uang,dan barang-barang mulya lainnya sebagai pralingga Sanghyang Rambut Sedana.

Hari Raya Siwaratri


1.SHIWARATRI.

Hari raya Shiwaratri jatuh pada purwaning tilem sasih kapitu(panglon ping 4 sasih kapitu).Shiwaratri artinya malam Shiwa yakni malam dimana Yhang Shiwa sedang beryoga semadi untuk kesejahtraan dunia.Pada malam ini umat Hindu diwajibkan melaksanakan sambang,yoga dan semadhi.Sambang yang artinya jagra atau begadang.Yoga artinya mengadakan hubungan dengan Yhang Shiwa.Semadhi artinya menyatukan diri dengan Ida Sanghyang Whidi Wasa.Dengan melaksanakan hal itu,umat diyakini akan mendapatkan anugrah dari Shiwa berupa peleburan dosa.

Landasan Shiwaratri ini yaitu kekawin Shiwaratri Kalpa atau kekawin Lubdaka.Kekawin ini ditulis oleh Mpu Tanakung yang bersumber dari Padma Purana.
Untuk melaksanakan hari suci ini hendaknya melaksanakan brata antara lain :
a.Tidak tidur selama 36 jam,dari matahari terbit sampai dengan matahari terbenam keesokan harinya.
b.Upawasa yaitu tidak makan selama 24 jam
c.Semedhi yang dilakukan pada malam harinya.

Pada kekawin Shiwaratri Kalpa disarankan pada malam hari tersebut melaksanakan kegiatan-kegiatan agar tidak mengantuk yaitu kegiatan berupa :
a.Mengadakan bunyi-bunyian ( mredangga )
b.Mekidung/mekekawin
c.Mendengarkan cerita Lubdaka.
Sedangkan orang yang telah meningkatkan spiritualnya hendaknya menambah bratanya dengan mona brata pada malam harinya selama 24 jam.

Jenis-jenis upakara yang diperlukan dalam melaksanakan pemujaan ini antara lain berupa bunga yang harum-harum,menir,kanyeri,gambir,arja,,kacubung,wanduri putih,putat,asoka,nagapuspa,tenguli,bekula kalak,cempaka,tunjung biru,tunjung merah,tunjung putih,majar-majar,sulasih.Bunga-bunga tersebut hendaknya dilengkapi dengan madu,bubur susu,bubur gula liwet yang dicampur dengan hati wilis
( santan ),persembahan ini juga mestinya dilengkapi dengan pana pana matsyaka ( daun bila ).

Dalam prakteknya di Bali upakara yang diperlukan adalah upasaksi ke Surya dengan canang ajuman atau pejati.
a.Disanggah kamulan mempersembahkan tapakan palinggih pasucian ,rayunan putih kuning,ajuman dan panca lingga yang dilengkapi dengan daun bila.
b.Sarana pamuspan untuk 3 kali,mulai malam ,tengah malam,menjelang matahari terbit.

Adapun urutan upacaranya sebagai berikut :
a.Pagi-pagi benar pada panglon ping 14,sisya harus menghadap Shiwa untuk menyatakan niatnya untuk melaksanakan brata Shiwaratri.
b.Setelah mendapat anugrah dari guru ( nabe )sisya mulai mandi dan keramas untuk menyucikan diri.
c.Usai mandi melaksanakan pemujaan terhadap Sangyang Shiwa.
d.Usai pemujaan bari melaksanakan upawasa dan mona brata.
e.Pada malam harinya melakukan sambaing atau tidak tidur dan melakukan yoga Samadhi kehadapan Shiwa,Dewa Kumara,dan Ganesha dengan sarana diatas.
f.Keesokan harinya pada pagi hari harus melaksanakan asuci laksana dan menghadap guru nabe untuk mohon tirta dan brata sambaing dilanjutkan sampai menjelang malam.

Kautamaan Brata Shiwaratri.
Shiwaratri atau malam Shiwa yang lebih dikenal dengan malam peleburan dosa.Karena barang siapa diwaktu malam tersebut dapat melaksanakan brata shiwaratri akan mendapat anugrah Shiwa berupa peleburan dosa.Sehina-hinanya manusia,bilamana pada malam tersebut dapat melakukan brata maka dosa-dosanya akan dilebur dan kelak bila meninggal rohnya akan mendapat tempat di Shiwaloka,seperti halnya Lubdaka.Lubdaka adalah seorang pemburu yang suatu kebetulan ketika malam Shiwaratri melakukan brata tidak tidur dan dengan tidak sengaja mempersembahkan daun bila kepada Shiwa.

Tri Hita Karana


Melalui Tri Hita Karana hendaknya kehidupan ini akan terasa lebih indah,
Tanpa kita pernah sadar,konsep hidup dengan Tri Hita Karana pada saat ini
sudah mulai dilupakan.

1.Hubungan manusia dengan Tuhan.
Mungkin kita bisa menghitung dengan jari dalam satu bulan
brapa kali kita sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atau pernahkah kita ingat akan ajaran-ajaran agama didalam
menjalani hari...?
Sudah saatnya kita mulai sadar,Demi terujudnya kehidupan
yang indah damai,mulai saat ini kita tingkatkan
nilai sepiritual kita untuk menjalankan Dharma,sujud
bakti kita kepada Yang Maha Kuasa hendaknya kita lakukan dengan
tulus dan iklas.Mohon kepada yang maha kuasa akar selalu dituntung
sesuai dengan ajaran Dhrama untuk menuju kebahagiaan.
Dan jangan pernah dilupakan semua yang ada di Bumi ioni adalah Kuasa
Dari Tuhan Yang Maha Esa.

2.Hubungan Manusia dengan manusia.
Dijaman Kali Yuga saat ini,mungkin jarang kita dapatkan lagi
manusia yang mau mengerti akan sesama.Keangkuhan,ke Ego an telah menguasai
manusia saat ini.
Pernahkah kita ingat dan menyadari"aku adalah kamu,kamu adalah aku"...?
Luangkan waktu kita sejenak untuk merenung apa yang telah kita
lakukan untuk sesama kita...!

3.Hubungan manusia dengan alam.
Hutan,tentunya kita semua sudah tahu,setiap hari,setiap bulan,dan setiap tahun
hutan kita selalu bertambah kerusakannya.
Alam yang terus mengalami kehancuran ditengah keserakahan manusia.
Sebelum alam mulai murka,hendaknya kita mulai dari saat ini.
Lestarikan alam,jaga dan rawat alam ini seperti kita merawat diri kita sendiri.
Lakukan yang terbaik untuk alam ini.
Atau renungkan diri kita sejenak,apa yang telah pernah kita lakukan untuk alam ini...?

Pendek kata "Melalui konsep hidup Tri Hita Karana "
Kita wujudkan kehidupan yang lebih bahagia.

Renungkan...!

Friday, September 11, 2009

Pura Punca Mangu

Pagi hari ini begitu membuka mata,,,waduuh kakiku kaku, terasa sakit bangeeet? rupanya keletihan dan kelelahanku yg kemarin belum pupus. Bukankah aku mendaki kemarin (ehhmm biang keroknya...)...tpi bukan untuk tujuan mendaki beneran melainkan melakukan persembahyangan ke Puncak Mangu. Pura Puncak Mangu adalah Pura Kahyangan Jagat dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan kepada Tuhan yang melindungi empat penjuru Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu di arah utara, arah selatan Pura Andakasa, arah timur Pura Lempuyang Luhur dan arah barat Pura Luhur Batukaru. Demikian dinyatakan dalam Lontar Usada Bali. Pada zaman dulu puncak gunung ini sudah menjadi pusat pemujaan terhadap Dewa Siwa. Di Pura ini umumnya umat memohon kerahayuan dan kemakmuran jagat.

Tri Hita Karana


Melalui Tri Hita Karana hendaknya kehidupan ini akan terasa lebih indah,
Tanpa kita pernah sadar,konsep hidup dengan Tri Hita Karana pada saat ini
sudah mulai dilupakan.

1.Hubungan manusia dengan Tuhan.
Mungkin kita bisa menghitung dengan jari dalam satu bulan
brapa kali kita sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atau pernahkah kita ingat akan ajaran-ajaran agama didalam
menjalani hari...?
Sudah saatnya kita mulai sadar,Demi terujudnya kehidupan
yang indah damai,mulai saat ini kita tingkatkan
nilai sepiritual kita untuk menjalankan Dharma,sujud
bakti kita kepada Yang Maha Kuasa hendaknya kita lakukan dengan
tulus dan iklas.Mohon kepada yang maha kuasa akar selalu dituntung
sesuai dengan ajaran Dhrama untuk menuju kebahagiaan.
Dan jangan pernah dilupakan semua yang ada di Bumi ioni adalah Kuasa
Dari Tuhan Yang Maha Esa.

2.Hubungan Manusia dengan manusia.
Dijaman Kali Yuga saat ini,mungkin jarang kita dapatkan lagi
manusia yang mau mengerti akan sesama.Keangkuhan,ke Ego an telah menguasai
manusia saat ini.
Pernahkah kita ingat dan menyadari"aku adalah kamu,kamu adalah aku"...?
Luangkan waktu kita sejenak untuk merenung apa yang telah kita
lakukan untuk sesama kita...!

3.Hubungan manusia dengan alam.
Hutan,tentunya kita semua sudah tahu,setiap hari,setiap bulan,dan setiap tahun
hutan kita selalu bertambah kerusakannya.
Alam yang terus mengalami kehancuran ditengah keserakahan manusia.
Sebelum alam mulai murka,hendaknya kita mulai dari saat ini.
Lestarikan alam,jaga dan rawat alam ini seperti kita merawat diri kita sendiri.
Lakukan yang terbaik untuk alam ini.
Atau renungkan diri kita sejenak,apa yang telah pernah kita lakukan untuk alam ini...?

Pendek kata "Melalui konsep hidup Tri Hita Karana "
Kita wujudkan kehidupan yang lebih bahagia.

Renungkan...!

Monday, September 7, 2009

Pura Luhur Srijong



Bermula dari Sebuah Cahaya

Pura Luhur Serijong terletak di Banjar Payan, Desa Pakraman Batu Lumbang, Antap Selemadeg. Pura ini berlokasi sekitar 15 km dari Tabanan arah barat atau 45 km dari Denpasar. Aura religius sangat dirasakan ketika memasuki areal pura yang terletak di tepi pantai ini. Pura Serijong merupakan salah satu pura di Bali yang letaknya di tepi laut yang salah satu wujud pemujaannya adalah Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan (Ida Batara Segara). Bagaimana sejarah pura tersebut? Makna apa yang bisa dipetik di balik bangunan suci itu?

PENDIRIAN Pura Serijong ini juga memiliki sejarah yang unik. Di mana pada zaman lampau masyarakat sekitar yang kala itu sebagian besar tinggal di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani melihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai yang berbatu karang. Di sekitar cahaya itu, dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di tempat itu yang merupakan batu karang dibangunlah sebuah pura oleh masyarakat sekitar dan diberi nama Pura Luhur Serijong. Maka sangat pantaslah pura yang masih terkait dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra ini berfungsi sebagai penerang, pemberi pengetahuan bagi umat manusia.

Pura Luhur Serijong menurut beberapa catatan dibangun hampir bersamaan dengan Pura Rambut Siwi di Jembrana dan Pura Tanah Lot yakni pada abad XVI Masehi yang masih berkaitan dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.

Sebanyak 24 desa pakraman yang terdiri atas ribuan umat Hindu di sekitarnya menjadi penyungsung dari pura ini sejak turun-temurun. Buda Umanis Prangbakat merupakan piodalan di pura ini yang sangat ditunggu-tunggu oleh krama. Bukan hanya dari daerah Selemadeg, umat dari berbagai wilayah di Bali kerap pedek tangkil ke pura ini. Beberapa pelinggih yang ada di utama mandala pura ini yakni Meru Tumpang Tiga sebagai wahana pemujaan Ida Dang Hyang Dwijendra, Pelinggih Ida Batara Segara, Padmasana, Pelinggih Pasimpangan Rambut Siwi, Pelinggih Ida Batara Rambut Sedana, Pelinggih Taksu Agung dan Pengeruak.

Secara filosofis, selain berupa pemujaan Tuhan dalam wujud cahaya (sinar) pada mulanya, pura ini juga sebagai pemujaan Dang Hyang Dwijendra yang merupakan guru yang sangat berjasa di Bali dan mampu memberikan penerangan. Pemujaan Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan yang dalam Hindu dikenal dengan Dewa Baruna juga menjadi objek pemujaan di pura ini. Selain itu, adanya Pasimpangan Ida Batara Rambut Sedana sebagai sarana untuk memohon berkah dan kerahayuan. Keheningan dan kesejukan membuat pura ini cocok untuk melakukan pemujaan serta meditasi memuja keagungan-Nya.

Pemangku Gede Pura Serijong I Made Suada menuturkan, ada beberapa versi yang berkembang berkenaan dengan keberadaan Pura Luhur Serijong ini. Tetapi secara umum yang paling diterima oleh masyarakat adalah awal pendirian pura ini pada zaman dahulu ketika masyarakat sekitar melihat sinar terang di tepi laut yang berbatu karang tersebut. Diketahui sebagai suatu pertanda baik, maka di tempat ini didirikanlah pura.

Selain itu dalam perjalanannya, Dang Hyang Dwijendra ketika berkeliling Bali menyebarkan ajaran dharma untuk menata umat beragama di Bali, sempat singgah dan melakukan pemujaan di tempat ini. Masyarakat sekitar sangat terkesan dengan aura kepanditaan beliau, sehingga diputuskan untuk membangun pelinggih sebagai sarana memuja beliau sebagai guru bagi umat manusia.

Hingga kini beliau dipuja pada pelinggih utama berupa Meru Tumpang Telu. Sinar terang pengetahuan, wujud bakti kepada Ida Batara Segara, memohon kerahayuan dan hormat pada guru adalah ciri khas dari pura ini.
Beberapa kali, kata Suada, dilakukan rehab atas pura ini, di antaranya rehab besar dilakukan tahun 1949-1950 dan dilakukan upacara ngenteg linggih tahun 1952. Tahun 1996-2003 pengempon pura kembali melakukan rehab dan dilakukan upacara ngenteg linggih serta mamungkah tahun 2003 lalu. Puri Agung Tabanan merupakan pangrajeg dari pura ini, sementara panganceng adalah Jero Subamia.

Segala aktivitas, baik pembangunan fisik maupun upacara tidak terlepas dari peran Puri Tabanan dan Jero Subamia. Bahkan, penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana yang juga Wakil Bupati Tabanan turut aktif mengkoordinir pembangunan beberapa fasilitas pelengkap dari pura ini. Walau keberadaan pura ini cukup aman, namun abrasi selalu terjadi pada areal tepian pantai akibat besarnya gelombang.

Beruntung telah ada beberapa bantuan yang sangat membantu dalam pengamanan pantai dengan tanggul panjang 80 meter dan pemecah gelombang. Abrasi juga mengikis beberapa situs dan peninggalan penting yang terdapat di sekitar areal ini, oleh karena itu perlu mendapat penanganan sebagai langkah penyelamatan.

Selain peninggalan purbakala yang terdapat pada beberapa lokasi, pemangku setempat menyatakan juga terdapat beberapa peninggalan kuno yang berupa arca yang disucikan.


''Payuk'' Kebo Iwa

Areal lain yang masih menjadi satu areal dengan keberadaan pura ini adalah kawasan disucikan yang menurut legenda dan kepercayaan masyarakat setempat merupakan situs peninggalan Kebo Iwa, patih Bali yang sangat termashyur. Di sana terdapat sebuah batu karang dikelilingi pasir dan air laut, berukuran kurang lebih 3 meter, disebut Payuk Kebo Iwa.
Payuk berarti periuk, yang dipercaya milik Kebo Iwo. Di sebelah baratnya, di samping Pura Luhur Serijong, terdapat batu karang yang persis seperti dapur penduduk asli, berukuran lebih kurang 1 x 20 meter. Di sanalah Kebo Iwa diyakini memasak dengan mempergunakan periuknya tersebut.
Di pantai Payan juga bisa dilihat berbagai peninggalan Kebo Iwa yang legendaris. Misalnya dapur, meja, tempat air, tempat duduk, sisa-sisa nasi dan tempatnya bertapa seperti sebuah batu pipih yang sangat halus. Lokasinya di sebelah selatan pura, di kaki jurang yang dalam dan terjal. Peninggalan-peninggalan itu sekarang sudah membatu, untuk melihatnya harus menunggu air laut surut.

Di pantai Payan ini terdapat sebelas kelebutan (mata-air) air tawar warna-warni yang dipercaya bisa membuat awet muda. Juga terdapat pasiraman toya leh yang diyakini tempat permandian Kebo Iwa ketika melakukan misi pengamanan laut.

Di bawah pura terdapat goa yang besar dan dalam. Ujungnya tepat berada di bawah Meru Tumpang Telu. Di ujung goa, terdapat batu menyerupai Padmasana, sthana Ida Sang Hyang Widhi. Goa ini berukuran panjang sekitar 40 meter, jauh menjorok ke dalam, lebar 17 meter serta dengan ketinggian sekitar 10 meter pada bibir goa. Goa ini dihuni oleh kelelawar yang keberadaannya tidak pernah diganggu manusia.

Menurut keterangan pemangku setempat, kelelawar di goa ini berjumlah puluhan ribu yang terdiri atas tiga jenis yang dalam bahasa Bali dikenal dengan jempiit, lelawah dan balongan. Pada hari-hari tertentu, kelelawar ini keluar dan melakukan perjalanan hingga menimbulkan barisan yang sangat panjang.

Di tepi goa ini terdapat Pelinggih Biang Sakti dan terdapat beberapa mata air yang dianggap suci. Namun karena ada aktivitas pembuatan tanggul, beberapa mata air sulit untuk ditemukan kembali. Konon, di situlah dulu Kebo Iwa melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing. Pada waktu-waktu tertentu kedua pengawal itu menampakkan diri. Kawasan yang luasnya beberapa kilometer ini merupakan areal yang dijaga kesucian dan kelestariannya. Bukan hanya karena adanya legenda Kebo Iwa, tetapi diyakini bukan merupakan kawasan sembarangan, sehingga tidak ada fasilitas pariwisata yang dibangun berdekatan dengan areal ini.

Pura Pusering Jagat



Bertanyalah di mana pusat dunia kepada warga Desa Pejeng, Gianyar, maka dengan cekatan mereka akan mengatakan bahwa di Pura Pusering Jagatlah tempatnya. Bagi mereka di Pura Pusering Jagatlah awal mula kehidupan dan peradaban dunia. Keyakinan itu kemungkinan besar karena Pusering Jagat memang berarti pusat semesta.

Pura Pusering Jagat memang merupakan pura penting di Bali. Pura ini termasuk satu dari enam pura kahyangan jagat yang berposisi di tengah-tengah. Dalam kosmologi Hindu, tengah adalah sthana (tempat bersemayam) Dewa Siwa.

Pura Pusering Jagat terletak di desa Pejeng yang di masa lampau merupakan pusat Kerajaan Bali Kuna. Banyak yang menduga bahwa kata pejeng berasal dari kata pajeng yang berarti payung. Dari desa inilah raja-raja Bali Kuna memayungi rakyatnya. Namun, ada juga yang menduga kata pejeng berasal dari kata pajang (bahasa Jawa Kuna) yang berarti sinar. Diyakini, dari sinilah sinar kecemerlangan dipancarkan ke seluruh jagat.

Dalam lontar-lontar kuna, Pura Pusering Jagat juga dikenal sebagai Pura Pusering Tasik atau pusatnya lautan. Penamaan itu akan mengingatkan masyarakat Hindu kepada cerita Adi Parwa yang mengisahkan perjuangan para dewa dalam mencari tirtha amertha (air kehidupan) di tengah lautan Ksirarnawa.

Di pura ini terdapat arca-arca yang menunjukkan bahwa pura ini adalah tempat pemujaan Siwa seperti arca Ganesha (putra Siwa), Durga (sakti Siwa), juga arca-arca Bhairawa. Ada juga arca berbentuk kelamin laki-laki (purusa) dan perempuan (pradana). Dalam ajaran Hindu, Purusa dan Pradana ini adalah ciptaan Tuhan yang pertama. Purusa adalah benih-benih kejiwaan, sedangkan Pradana benih-benih kebendaan. Pertemuan Purusa dan Pradana inilah melahirkan kehidupan dan harmoni.

Di pura ini juga terdapat peninggalan kuno berbentuk bejana yang disebut sangku sudamala yang melambangkan limpahan air suci untuk kehidupan. Di dalam sangku sudamala ini terdapat gambar yang menandakan angka tahun Saka 1251.

Klik to Info :