Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Free Website Hosting

Tuesday, October 16, 2012

Ilmu Hitam di Bali

Berbicara tentang adat istiadat di Bali dikaitkan dengan arus modernisasi, masih tetap ajeg dan kuat berakar di hati sanubari masyarakat Bali. Ilmu hitam yang di kenal dengan istilah "Pengeleakan" di bali, adalah merupakan suatu ilmu yang diturunkan oleh Ida Sang Hyang Widi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) dengan segala manifestasinya dalam fungsinya untuk memprelina ( Memusnahkan ) manusia di muka bumi.

Di bali ilmu tersebut dikenal masyarakat sangat luas sejak dulu, ilmu ini memang teramat sadis karena dapat membunuh manusia dalam waktu yang relatif singkat. Ilmu dapat juga menyebabkan manusia mati secara perlahan yang dapat menimbulkan penderitaan yang hebat dan berkepanjangan.
Dalam masyarakat bali khususnya yang beragama hindu dikenal dengan istilah “Rua Bineda” yaitu Rua berarti dua dan Bineda berarti berbeda yang artinya ada dua yang selalu berbeda, seperti adanya siang dan malam, ada suka dan duka, ada hidup dan mati, demikian pula dengan ilmu ini ada ilmu yang beraliran kiri disebut ilmu hutam atau Ilmu Pengeleakan dan sebagai penangkalnya ada ilmu yang beraliran kanan atau ilmu putih.


Pengertian Ilmu Hitam

Ilmu Hitam disebut juga ilmu pengeleakan, tergolong "Aji Wegig" yaitu aji berarti ilmu, wegig berarti begig yaitu suatu sifat yang suka menggangu orang lain. Karena sifatnya negative, maka ilmu ini sering disebut "Ngiwa" ngiwa berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri. Ilmu leak ini bisa dipelajari pada lontar – lontar yang memuat serangkaian ilmu hitam. Lontar –lontar artinya buku – buku jaman kuno yang terbuat dari daun pohon lontar yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran 30 cm dan lebar 3 cm, diatas lontar diisi tulisan aksara Bali dengan bahasa yang sangat sakral.

Di Bali ada empat jenis lontar Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan antara lain :
>
1. Lontar Cambraberag.
2. Lontar Sampian Emas
3. Lontar Tanting Emas
4. Lontar Jung Biru.

Lontar – lontar tersebut ditulis pada jaman Raja Erlangga yang berkuasa di Kerajaan Kediri yaitu ditulis pada waktu Calonarang masih hidup. Calonarang adalah nama seorang perempuan dari Desa Dirah yaitu Desa pesisir termasuk wilayah Kerajaan Kedari. Calonarang berstatus janda sehingga sering disebut Rangda Naten Dirah yaitu Rangda artinya janda atau dalam bahasa Bali disebut balu, Naten artinya dari atau berasal dan Dirah artinya nama suatu desa. Jadi ‘’Rangda Naten Dirah’’ artinya janda dari desa Dirah. Calonarang adalah Ratu Leak yang sangat sakti yang pada jaman itu bisa membuat Kerajaan Kediri Gerubug (wabah) yang dapat mematikan rakyatnya dalam waktu singkat.

Kisah ceritanya adalah sebagai berikut :

Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Erlangga yaitu didesa Dirah ada sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh seorang janda yang bernama Ibu Calonarang, mempunyai murid – murid yang semuanya perempuan dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah senior antara lain :

- Nyi Larung.
- Nyi Lenda.
- Nyi Lending.
- Nyi Sedaksa.

Ilmu leak ini ada tingkatan – tingkatannya yaitu :

1. Ilmu Leak Tingkat Bawah yaitu orang yang bisa ngeleak tersebut bisa merubah wujudnya menjadi binatang seperti monyet, anjing, ayam putih, kaqmbing, babi betina (bangkung) dan lain – lain.

2. Ilmu Leak Tingkat Menengah yaitu orang yang bisa ngeleak pada tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Burung Garuda dan bisa terbang tinggi, paruh dan cakarnya berbisa dan matanya bisa keluar api.

3. Ilmu Leak Tingkat Tinggi Yaitu oaring yang bisa ngeleak tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Bade Yaitu berupa menara pengusungan jenasah bertingkat sebelas dan seluruh tubuh menara tersebut berisi api yang menjalar – jalar sehingga apa saja yang kena sasarannya bisa hangus menjadi abu.


Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putrid yang bernama Dirah Ratna Manggali, berparas cantik jelita, tetapi anaknya tidak ada pemuda yang melamarnya karena Dirah Ratna Manggali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum keturunan Yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu.

Ibu Calonarang sangat sedih bercampur berang. Sedih karena khawatir putrinya bakal jadi perawan tua, itu berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong cucu .

Berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak dengan demikian pada suatu malam yang kelam Ibu Calonarang memanggil murid – muridnya untuk membuat Kerajaan Kediri gerubug (wabah) yang dapat mematikan rakyatnya dalam singkat, sehingga dengan demikian banyak penduduk yang jadi korban, ada yang muntah berak ada pula penyakit yang aneh – aneh timbul di sana sini.

Kerajaan Kediri gempar, sehari hari orang mengusung mayat ke kuburan dalm selisih waktu yang sangat singkat. Raja Kediri sangat panik sehingga Raja Kediri memanggil seorang Bagawangita yaitu Pendeta Kerajaan Kediri yang bernama Empu Bharadah yang di tugaskan oleh Raja untuk mengatasi garubug (wabah) sebagai ulah onar si Ratu Leak Calonarang .

Empu Bharadah lalu mengatur siasat dengan cara Empu bahula putra Empu Bharadah di tugaskan untuk mengawini Diah Ratna Manggali agar berhasil mencuri rahasia ilmu pengeleakan milak janda sakti itu. Empu Bahula berhasil mencuri buku tersebut yang dimana berupa lontar yang bertuliskan aksara Bali yang menguraikan tenteng teknik – teknik pengeleakan. Setelah Ibu Calonarang mengetahui bahwa dirinya telah diperdaya oleh Empu Bharadah dangan memanfaatkan putranya Empu Bahula untuk pura –pura kawin dengan putrinya sehingga berhasil mencuri buku ilmu pengeleakan milik Calonarang.

Ibu Calonarang sangat marah dan menantang Empu Bharadah untuk perang tanding pada malam hari di Setra Ganda Mayu yaitu sebuah kuburan yang arealnya sangat luas yang ada di Kerajaan Kediri. Maka pertarunganpun terjadi dengan sangat seram dan dahsyat antara penguasa ilmu hitam yaitu Calonarang dengan penguasa ilmu putih yaitu Empu Bharadah. Pertempuran berlangsung sangat lama sehingga sampai pagi. Karena ilmu hitam mempunyai kekuatan hanya pada malam hari saja, maka setelah siang hari Ibu Calonarang akhirnya terbakar hangus oleh ilmunya sendiri. Dengan meninggalnya Ibu Calonarang maka bencana gerubug (wabah) yang melanda Kerajaan Kediri bisa teratasi.

Demikian adanya Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang sampai sekarang masih berkembang di Bali, karena masih ada generasi penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.

Friday, August 24, 2012

Galungan Lan Kuningan


TUMPEK WARIGA
Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.
ANGGARA KASIH JULUNGWANGI
Hari Anggara, Kliwon, Wuku Julungwangi atau 15 hari sebelum Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek Butha dengan mecaru alit di Sanggah pamerajan dan Pura, serta mengadakan pembersihan area menjelang tibanya hari Galungan.
BUDA PON SUNGSANG
Hari Buda, Pon, Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan. Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung. Nguncal artinya melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma).
Oleh karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin (mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma.
Pada masa nguncal balung yang berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang) adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak peliharaan, dan pawiwahan.
SUGIAN JAWA
Hari Wraspati, Wage, Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian dan kelestarian Bhuwana Agung (alam semesta).
SUGIAN BALI
Hari Sukra, Kliwon, Wuku Sungsang, atau 5 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).
PENYEKEBAN
Hari Redite, Paing, Wuku Dungulan, atau 3 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau berkelahi.
Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).
PENYAJAAN
Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang.
Manusia agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).
PENAMPAHAN
Hari Anggara, Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa.
Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat).
Secara simbolis memotong babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal sebagai simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai menghilangkan sifat-sifat malas manusia.
Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut:
  1. lamak simbol Reg Weda,
  2. bakang-bakang simbol Atarwa Weda,
  3. tamiang simbol Sama Weda, dan
  4. sampian simbol Yayur Weda.
Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning.
Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
GALUNGAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Dungulan, merupakan perayaan kemenangan manusia melawan bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan di Pura, Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas anugrah-Nya itu.
MANIS GALUNGAN
Hari Wraspati, Umanis, Wuku Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Malam harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan dharma dapat dipertahankan pada diri kita seterusnya.
Pemujaan di malam hari selama sembilan malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
PEMARIDAN GURU
Hari Saniscara, Pon, Wuku Dungulan, 3 hari setelah Galungan merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.
ULIHAN
Hari Redite, Wage, Wuku Kuningan, 4 hari setelah Galungan, Bhatara-Bhatari kembali ke Kahyangan, persembahyangan di Pura atau Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas wara nugraha-Nya.
PEMACEKAN AGUNG
Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan. Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta agar tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.
PENAMPAHAN KUNINGAN
Hari Sukra, Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa (menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Sisa, Sada Siwa, Parama Siwa).
KUNINGAN
Hari Saniscara, Kliwon, Wuku Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Para Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan sampai tengah hari.
Manusia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas wara nugrahanya berupa kekuatan dharma serta mohon agar kita senantiasa dihindarkan dari perbuatan-perbuatan adharma.
Secara simbolis membuat sesajen dengan nasi kuning sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana agar mereka mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian hari raya Galungan – Kuningan.
Selain itu menggantungkan “tamiang” di Palinggih-palinggih sebagai tameng atau perisai terhadap serangan kekuatan adharma.
PEGAT UWAKAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa.

Saturday, July 28, 2012

Leak,Ilmu warisan leluhur tanah Bali

Leak merupakan suatu ilmu kuno yang diwariskan oleh leluhur Hindu di Bali. Kata leak sudah mendarah daging di benak masyarakat hindu di Bali atau asal Bali yang tinggal di perantauan sebab kata-kata ini sangat sering kita dengar dan membuat bulu kuduk merinding atau hanya sekedar ga berani keluar malam gara-gara kata “leak" ini.

Begitu juga keributan sering terjadi antar tetangga gara-gara seorang nenek di sebelah rumah di tuduh bisa ngeleak. Bahkan bayi menangis tengah malam, yang mungkin kedinginan atau perut kembung yang tidak di ketahui oleh ibunya, juga tuduhannya pasti “amah leak” apalagi kalau yang bilang balian sakti (paranormal).

Asumsi kita tentang leak paling-paling rambut putih dan panjang, gigi bertaring, mata melotot, dan identik dengan wajah seram. Hal inilah yang membuat kita semakin tajam mengkritik leak dengan segala sumpah serapah, atau hanya sekedar berpaling muka bila ketemu dengan orang yang bisa ngeleak.

Secara umum leak itu tidak menyakiti, leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat. Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri. Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul, ilmu inilah yang disebut pengiwa. Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat seringkali dicap sebagai ilmu leak.

Tidak gampang mempelajari ilmu leak. Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Dulu ilmu leak tidak sembarangan orang mempelajari, karena ilmu leak merupakan ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya. Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar. Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia. Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari. Namun zaman telah berubah otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan.

Pada dasarnya ilmu leak adalah “ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci”.

Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut dengan leak, yang ada adalah “Lia Ak yang berarti lima aksara (memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu). Kekuatan aksara ini disebut “Panca Gni Aksara”, siapapun manusia yang mempelajari kerohanian merek apapun apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura).

Cahaya ini bisa keluar melalui lima pintu indra tubuh; telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut, sehingga apabila kita melihat orang ngelekas di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.

Orang yang kebetulan melihatnya tidak perlu waswas. Bersikap sewajarnya saja. Kalau takut melihat, ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas. Dan endih tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda. Endih leak bersifat niskala, tidak bisa dijamah.

Pada prinsipnya ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang, yang di pelajari adalah bagaimana dia mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui “ngelekas” atau ngerogo sukmo.

kata “Ngelekas” artinya kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar, ini pula alasannya orang ngeleak apabila sedang mempersiapkan puja batinnya di sebut “angeregep pengelekasan”.

Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut “ndihan” bola cahaya melesat dengan cepat. Ndihan adalah bagian dari badan astral manusia yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain.

dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya,
  • tidak sembarangan berani/boleh keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak, sehingga tidak semua orang bisa melihat ndihan.
  • tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati, orang ngeleak hanya main2 di kuburan (pemuhunan) apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya, begini bunyi doanya leak memberikan berkat, "ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta, mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahutama, ong rang sah, prete namah.." sambil membawa kelapa gading untuk dipercikkan sebagai tirta.

Ditinjau dari sumber ilmunya ada 2 jenis ilmu leak:
  • Leak Panugerahan adalah kemampuan spiritual yang diberikan oleh Tuhan sebagai gift (hadiah lahir) karena yang bersangkutan memiliki karma yang sangat baik dalam kehidupan sebelumnya. Orang yg menguasai Leak Panganugerahan mampu menghidupkan sinar Tuhan dlm tubuhnya yg diistilahkan dgn “api” dan mampu memadamkannya dgn unsur2 cair yg ada dlm tubuhnya juga. Biasanya unsur2 cair ini akan keluar dalam bentuk ludah/air liur/dahak. Dia juga mampu menyatukan unsur bhuana alit (tubuh manusia) dgn bhuana agung (alam semesta). Dgn demikian ybs mampu menguasai semua makhluk2 halus (jin, setan,dll) yg ada di dalam tubuh manusia dan di alam semesta dalam genggamannya. dan sekali yang menerima anugrah tersebut melanggar aturan atau berbuat diluar kebajikan, maka semua ilmunya akan sirna dan hidupnya pasti menderita. Sehingga apapun yang akan dilakukannya berkaitan dengan ilmu leak, selalu minta ijin terlebih dahulu dari Sesuhunannya atau paling tidak mengadakan pemberitahuan (matur piuning).
  • Leak Papalajahan adalah kemampuan yg didapat dgn cara belajar baik dengan meditasi, tapa semadhi atau yoga atau belajar dari guru. orang yg menguasai Leak Papalajahan hanya mampu menghidupkan api saja tanpa mampu memadamkannya. Dia juga tdk mampu menguasai makhluk2 halus yg ada di alam semesta dalam dirinya, tapi bisa memerintahkan mereka dgn jalan memberikan seperangkat sesajen tertentu utk menyenangkan makhluk2 halus, karena sesajen2 ini adalah makanan buat mereka.


Dalam sebuah tayangan episode televisi ada seorang praktisi leak yang mencoba menghapus kesan buruk ilmu leak dengan menayangkan prosesi nglekas. Dinyatakan di sana bahwa kru televisi dari luar Bali pada ketakutan dan menjauh dari sang praktisi karena melihat perubahan wujud menjadi sangat menyeramkan. Padahal dari rekaman video perubahan wujud itu tidak tampak sama sekali. Hanya dari beberapa bagian tubuh sang praktisi mengeluarkan cahaya terang, terutama mulut dan ubun-ubun, sedangkan dari telapak tangan keluar asap putih. Itu bedanya mata manusia yang memiliki sukma dan mata teknologi (kamera).

Jadi kesimpulannya adalah
  1. leak tidak perlu di takuti, tidak ada leak yang menyakiti,
  2. takutlah terhadap pikiran picik, dengki, sombong, pada diri kita sebab itu sumber pengiwa dalam tubuh kita. Bila tidak diantisipasi tekanan darah jadi naik, dan penyakit tiga S akan kita dapat, Stres, Stroke, Setra.
  3. Pada hakekatnya tidak ada ilmu putih dan hitam semua itu hati yang bicara
  4. Sama halnya seperti hipnotis, bagi psikiater ilmu ini untuk penyembuhan, tapi bagi penjahat ilmu ini untuk mengelabui serta menipu seseorang, tinggal kebijaksanaan kita yang berperan.
  5. Pintar, sakti, penting namun..ada yang lebih penting adalah kebijaksanaan akan membawa kita berpikir luas, dari pada mengumpat serta takut pada leak yang belum tentu kita ketemu tiap hari.

Di sarikan dari berbagai sumber. Saya bukanlah seorang praktisi leak, tapi saya banyak mendengar dan membaca dari para praktisi. Dan mungkin suatu saat ketika saya sudah siap, tidak tertutup kemungkinan saya juga mempelajarinya.

Sunday, May 20, 2012

Pura Segara Rupek Selat Bali Yoga Semadi Dang Hyang Sidhimantra Leluhur Orang Bali


Pura Segara Rupek berada di ujung Barat Pulau Bali yaitu di Selat Bali. Dari sinilah sesungguhnya jarak terdekat antara Bali dan Tanah Jawa yang berada disebelah Baratnya. Ujung Barat daratan Bali tampak jelas diseberang dengan lokasi terkait diujung Timur tanah Jawa yang dinamakan Batu Dodol di Wilayah Banyuwangi Jawa Timur.
Kisah tentang pemisahan Bali dengan Jawa, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh, ceritanya adalah:
Prasasti Pasek Berjo Selunglung menyuratkan bahwa Segara Rupek terbentuk setelah Dang Hyang Sidhimantra beryoga semadi memohon keselamatan seisi jagat termasuk untuk keselamatan putra tunggalnya yang bernama Manik Angkeran, yang dipersembahkan sebagai pengayah atau pekerja pembantu kepada Ida Betara Sanghyang Naga Basuki di Besakih, Bali.
Dalam Yoga Semadi kehadapan Sanghyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni sebagai Penguasa Samudra Raya, Dang Hyang Sidhimantra dititahkan supaya mengoreskan tongkat tiga kali ketanah, tepat di jalan ceking atau ruas jalan yang paling sempit. Akibat goresan tongkat tersebut, air laut terguncang, bergerak membelah bumi. Maka daratan tanah Bali dan Tanah Jawa yang satu itu pun terpisah oleh lautan. Jawa dan Bali pun terpisah, jadilah Segara Rupek atau Lautan Sempit yang kini dinamakan Selat Bali.
Dang Hyang Sidhimantra Keturunan Sapta Rsi
Sapta Rsi atau Tujuh Pandhita, adalah leluhur orang Bali dari kelompok Warga Pasek Sanak Pitu. Ke tujuh Resi yang menurunkan Pasek Sanak Pitu adalah : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Widnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Ke tujuh pandhita ini adalah putra-putra dari Mpu Agni Jaya yang berasrama di Gunung Lempuyang. Sebelumnya beliau bergelar Sang Brahmana Pandhita. Beliau besaudara lima, yaitu Sang Brahmana Pandhita sendiri, Mpu Semeru yang berasrama di Besakih, Mpu Gana di Gelgel, Mpu Kuturan di Silayukti dan Mpu Bradah di Kahuripan. Kelima Pandhita tersebut diatas disebut Panca Tritha. Kelima Pandhita itu adalah putra-putra Bhatara Hyang Agni Jaya yang beristhana di Gunung Lempuyang.
Sedangkan Bhatara Agni Jaya adalah putra dari Sanghyang Pasupati, yaitu Ida Hyang Widhi, yang bersthana di Gunung Mahameru India. Bhatara Hyang Agni Jaya adalah termasuk Asta Dewata, yang dianggap sebagai putra-putra Hyang Pasupati. Asta Dewata itu adalah :1.Bhatara Mahadewa bersthana di Gunung Agung, 2.Bhatara Hyang Putra Jaya juga bersthana di Gunung Agung, 3. Bhatara Danuh di Ulun Danu Batur, 4. Bhatara Hyang Agni Jaya sendiri bersthana di gunung Lempuyang, 5. Bhatara Tumuwuh bersthana di Gunung Batukaru, 6. Bhatara Manik Gumayang bersthana di Pejeng, 7. Bhatara Manik Galang bersthana di Pejeng, 8. Bhatara Hyang Tugu di Bukit Andakasa.
Tampak sekali dalam uraian diatas, bahwa setelah Panca Pandhita keatas lalu dihubungkan dengan Dewa-dewa manifestasinya Tuhan (Asta Dewata). Hal ini membuktikan bahwa leluhur diatas itu tidak dapat dilacak lagi. Namun kendati pun demikian, pengkaitan dengan asta dewata lalu kepada Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Mahameru, adalah merupakan petunjuk bahwa leluhur Panca Tirtha itu adalah berasal dari para Brahmana India, dari sekte keagamaan Siva (mazab Siva). Dan Pandhita-pandhita yang datang ke Indonesia dari India itu adalah dari Garis Perguruan (Pasramaan) Maharkandya dan Agastya. Boleh jadi Panca Pandhita itu leluhurnya adalah garis perguruan Agastya, sebagai pusat pengajaran mazab Siva.
Panca Pandita itu, konon mereka berguru ke India setelah selesai pendidikannya dan setelah didiksa mereka kembali ke Indonesia. Di Jawa mula-mula mereka mengajarkan agamanya. Kemudian setelah Mahendradatta kawin ke Bali, empat dari lima saudara itu pun ikut turun ke Bali untuk mengajarkan Agama Hindu. Berturut-turut datang ke Bali :
  1. Mpu Semeru. Beliau adalah pemeluk sekte Siva, beliau datang ke Bali tahun 999 Masehi, beliau membuat pasraman di Besakih.
  2. Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya (sub sekte Siva). Beliau sampai di Bali pada tahun 1000 Masehi. Beliau mendirikan Pasraman di Gelgel.
  3. Mpu Kuturan pengikut sekte Tantrayana (sumber lain mengatakan Buddha Mahayana). Beliau datang ke Bali pada tahun 991 Masehi. Di Bali beliau menjadi Brahmarsi dengan berasrama di Silayukti Padang.
  4. Mpu Gni Jaya. Beliau ke Bali tahun 1006 Masehi. Beliau berparahyangan di Gunung Lempuyang. Beliau adalah penganut Sekte Brahmanisme. Di tempat bekas Pasraman beliau sekarang telah berdiri sebuah pura Lempuyang Madia.
  5. Mpu Bradah tidak ikut ke Bali. Beliau menetap di Jawa, mendampingi Prabhu Airlangga.Di Bali Mpu Agni Jayalah yang menjadi leluhur langsung Warga Pasek Sanak Pitu, melalui putra-putra beliau Sanak Sapta Rsi.
Mpu Bradah adalah saudara terkecil dari lima Rsi. Beliau tinggal di Jawa menjadi Bhagawannya Prabhu Airlangga. Beliau berasrama di Lemah Tulis, Pejarakan Jawa Timur. Beliau adalah pengikut Buddha Mahayana, sekte Bajrayana.
Mpu Bradah berputra dua orang, yaitu : Mpu Siwagandhu, dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratnamanggali putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah, menurunkan Mpu Wira Angsokanatha, yang bergelar Mpu Tantular.
Mpu Tantular berputra 4 orang, yaitu : 1 Mpu Siddhimantra, 2. Mpu Panawasikan, 3. Mpu Smaranatha dan 4. Danghyang Kepakisan. Rupa-rupanya ke empat Mpu ini telah lahir pada jaman Singosari. Dan Mpu Tantular betul-betul umurnya sangat panjang. Mungkin mencapai seratus tahun lebih.
Dalam garis keturunan ini Mpu Sidhimantra hanya berputra seorang, yaitu Wang Bang Manik Angkeran. Ketika mudanya Manik Angkeran gemar berjudi sabungan ayam. Oleh karena itu ia diasramakan di Besakih untuk menghamba Hyang Besuki yang berwujud Naga. Ia pun mengambil genta ayahnya. Lalu di rapalkan Veda Nagastawa. Maka keluarlah Hyang Besuki. Pada puncak ekornya terdapat manik yang sangat gemerlapan, Wang Bang Manik Angkeran yang bebotoh, tergiur hatinya ingin memiliki manik itu, yang nantinya akan dijual. Maka dipotonglah ekor Naga Basuki itu. Hyang Basuki pun menjadi marah, lalu tubuh Wang Bang Manik Angkeran dijilatnya. Seketika Wang Bang Manik Angkeran menjadi abu. Hal ini segera diketahui oleh ayahnya. Mpu Sidhimantra dengan kesidiannya dapat menyambung ekor naga Basuki itu. Dan Wang Bang Manik Angkeran pun dihidupkan kembali. Akhirnya Manik Angkeran pun bertobat. Sejak itu Manik Angkeran berhenti berjudi, lalu menekuni bidang agama. Kemudian ia mediksa atau disucikan menjadi Mpu dengan gelar Danghyang Manik Angkeran. Beliau beristri dua. Seorang Widyadari dan seorang lagi dari warga biasa.
Keturunan Wang Bang Manik Angkeran sekarang tersebar di Bali, adalah generasi penerus Dang Hyang Sidhimantra pencipta Segara Rupek Selat Bali. Secara sosiologi pemisahan Bali-Jawa di Segara Rupek dimaksudkan oleh Dang Hyang Sidhimantra justru guna memproteksi kesucian Bali dari ancaman migrasi penduduk berlebihan, disamping untuk menekan angka tindak kriminal.

Thursday, January 19, 2012

Hari Siwalatri

OM SWASTI ASTU

Umat sedharma yang berbahagia, mudah-mudah dalam keadaan sehat selalu dan dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, disini saya mencoba berbagi pengatahuan dengan kawan semua mudah-mudah dapat menambah wawasan kita semua.

Setiap setahun sekali kita merayakan hari raya SIWARATRI dimana hari raya tersebut selalu dihubungkan dengan sebuah cerita Si lubdaka karangan Mpu Tanakung.

Cerita lubdaka bahkan sudah tidak asing lagi bagi kita semua dari SD sampai perguruan tinggi kita pasti mendegar cerita tersbut. Bahkan dalam perayaan-perayaan di pura kita sering melihat pemetasan sendratari Lubdaka yang diperankan oleh Pemuda-pemudi yang sangat atusias sekali mengekspresikan semua kreativitasnya. Tapi tanpa kita sadari bahwa cerita lubdaka tersebut penuh makna dari semua symbol-simbol dari seluruh cerita tersebut yang dipesankan oleh Pengarang-Nya (Mpu Tanakung).

Baik disini saya tidak meceritakan kisah lubdaka lagi. Karna saya yakin dan percaya Umat sedharma semua pernah mendengarkan. Disini saya akan mencoba mengulas tentang makna dari semua symbol dari cerita lubdaka tersebut.
Kita akan kupas satu persatu makna simbolik dari ceirta lubdhaka.

1. Hari Perayaan Siwaratri.
Siwaratri yang datang setahun sekali yaitu pada hari 14 paruh gelap malam mahapalguna (januari-Februari), sehari sebelum Tilem kapitu, menyediakan seperangkat pengetahuan, nilai, norma-norma, pesan, dan symbol.
Kata ratri berarti malam, Karena itu Siwaratri berarti malam siva. Siva berarti baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan, Dengan demikian siwaratri adalah malam untuk melebur kegelapan hati menu jalan yang terang.
Siwaratri jatuh setahun sekali pada purwaning tilem ke pitu (panglong ping 14 sasih kepitu). Menurut astronomi malam tersebut merupakan malam yang paling gelap dalam satu tahun, maka buana agung terdapat malam yang paling gelap, maka di buana alit pun ada. Kegelapan di buana alit dikenal dengan nama peteng pitu, yaitu mabuk karena rupawan (surupa), mabuk karena kekayaan (dana), mabuk karena kepandaian ( Guna), mabuk karena kebangsawanan (kulina), mabuk karena keremajaan (yohana), mabuk karena minuman keras(sura), dan mabuk karena kemenangan (kasuran).Kegelapan inilah terjadi karena kesimpang siuran dalam struktur alam pikiran. Kesimpang siuran ini terjadi karena pengaruh dasendriya, sehingga menghasilkan manusia yang mengumbar hawa nafsu.

2. Makna Kata Lubdaka.
Kata Lubdhaka (sansekerta) berarti pemburu . Secara umum pemburu adalah diartikan sebagai orang yang suka mengejar buruan yaitu binatang (sattwa). Kata Sattwa berasal dari kata sat yang artinya mulia sedangkan twa artinya sifat. Jadi sattwa adalah sifat inti atau hakekat. Dengan demikian Lubdhaka adalah orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.

3. Tempat Tinggal Lubdhaka.
Lubdaka dikisahkan tinggal di puncak gunung yang indah . gunung didalam bahasa sansekerta disebut acala yang tidak bergerak. Bahkan dalam ceritra wrespati kalpa dikisahkan Betara siwa dipuja di puncak gunung kailasa. Jadi tempat tinggal Lubdhaka di puncak gunung dapat diartikan bahwa ia adalah orang yang taat dan tekun memuja siwa (Siwa Lingga) atau yang sering disebut seorang Yogi

4. Alat Perburuan dan binatang Buruan.
Alat bebrburu si Lubdhaka adalah panah, symbol dari manah / pikiran. Dengan senjata pikiran ia selalu berburu budhi sattwa. Agar ia mendapatkan budhi sattwam mesti ia mengendalikan indrianya ( melupakan bekal makanan)
Binatang yang diburu oleh Lubdhaka adalah, gajah, badak, babi hutan. Dalam bahasa sansekerta gajah berarti asti, simbolis dari astiti bhakti. Sedangkan badak sama dengan warak bermakna tujuan sedangkan babi hutan (waraha) mengandung makna wara nugraha.
Dengan demikian ketiga binatang buruan tersebut mengandung makna bahwa Lubdhaka dengan pikirannya yang dijiwai oleh budhi sattwam senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang didasari oleh astiti bhakti dengan tujuan mendapatkan wara nugraha dari Ida Hyang widhi wasa ( Siwa).

5. Berngkat berburu pada panglong ping 14.
Hari ke 14 paro terang di bulan magha ini Si Lubdaka tumben sial, tidak mendapat binatang. Ini adalah waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala kekuatan duniawi ini simbolik dari 1 + 6 = 7, yaitu sapta timira. Pada hari ke 14 paro simbolik 1+4 = 5 melambangkan panca indra. Jadi pada pang long ping 14 terang ini telah kehilangan 14 kala’ dan saat itu hanya masih tinggal 2 kala yakni raga (ego) dan kama ( nafsu ). Jadi jika kedua kala tadi mampu kita kalahkan maka disana Siwa akan memberikan rahmatnya.

6. Pagi hari memakai pakaian hitam kebiruan.
Hitam adalah lambang keberanian, keperkasaan. Pagi hari disebut Brahman muhurta “ hari Brahman, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan.

7. Berjalan sendirian.
Pemberani. Hanya orang yang tidak mengenal atau mampu mengatasi rasa takut yang berani sendirian masuk hutan lebat. Simbolik dari mengikuti jalan yang disebut nirwrwti marga : jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Dalam makna berangkat sendirian maka tidak ada teman bicara itu berarti mona brata “ tidak berbicara”.

8. Menuju arah timur laut.
Menuju kiblat suci merupakan sandi dari kiblat utara symbol Ratri “ malam, gelap, hitam,dengan kiblat timur symbol Siwa atau Iswara siang, putih, terang, Simbolik paham sakti dengan paham Siwa.

9. Selama perjalanan banyak menemukan tempat suci yang rusak .
Simbolik dari merosotnya situasi politik dan merosotnya kehidupan religius umat Hindu.

10. Tidak seekor binatangpun didapatkan.
Binatang symbol “ ego” sifat binatang itu tidak lagi ditemukan pada diri sang pertapa , artinya pertapa telah berhasil mengalahkan keakuannya dan rasa kepemilikannya.

11. Tidak terasa senjapun tiba.
Symbol dari daya konsentrasinya kuat. Vivekananda mengatakan bahwa, semakin banyak waktu yang terlewatkan tanpa kita perhatikan , semakin berhasil kita dalam konsentrasi. Ketika yang lampau dan sekarang berdiam menjadi satu berarti saat itulah pikiran memusat. Sandyakala adalah hari sandi antara terang dan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena seorang pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan spiritualnya.

12. Naik pohon bilwa yang tumbuh di pinggir danau, dan duduk dicampang
pohonya.Symbol dari meningkatnya kesadaran denagn jalan mediatasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Pohon bilwa disimbolkan sebagai tulang punggung yang di dalamnya terdapat cakra-cakra , simpul-simpul energi spiritual yang satu dengan yang lainya saling berhubungan. Duduk di campang pohon melambangkan daya keseimbangan konsentrasi antara otak kiri dan kanan, yakni otak tengah. Naik keatas pohon melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut kundalini sang pertapa.

13. Ranu atau danau
Symbol Yoni lambang sakti atau Dewi, saktinya siwa adalah lambang kesuburan.

14. Di tengah danau ada Siwalingga nora ginawe.
Batu alami yang kebetulan ada ditengah danau . Lingga adalah symbol Siwa

15. Memetik daun bilwa.
Memetik ajaran Siwa. Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra,melakukan japa ( menyebut nama Tuhan berkali-kali),

16. Tiba dipondok sore hari, menjelang petang (hari tilem).
Kenyataan umum setiap orang berburu pasti akan kembali pulang. Simbolnya kembali dari perjalanan suci yang dilakuakan selama dua hari satu malam : 36 jam.

17. Tiba di pondok Lubdaka baru makan.
Perjalanan berburu Lubdaka tidak membawa bekal, karena memang tidak rencana menginap. Simbol dari melakuakan upawasa, puasa tidak amkan, minum selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, purwani tilem sampai besok senja kala hari ke 15 tilem

C. Kesimpulan.
Itulah critera tentang Lubdaka dimana ceritra itu penuh makna dan arti. Seperti yang dikatakan Mpu Tanakung bahwa kita selayaknya dalam hidup ini selalu amuter tutur penehayu, yang artinya berusaha memutar kesadaran dengan cara yang tepat. Salah satunya adalah menjalankan brata siwaratri ini.
Dari cerita diatas dapat kita simpulkan bahwa Lubdaka adalah manusia biasa yang penuh dosa papa, mampu dengan secara kebetulan menjalankan ajaran / memuja Siwa di hari yang ratri, yaitu panglong ping 14 yang mana itu merupakan hari pemujaan Siwa, maka segala dosa yang pernah diperbuat mendapat pengampunan. Artinya, dosa –dosanya itu menjadi berkurang karena perbuatan yang baik, disaat yang tepat.

Demikian Tulisan arikel saya, mudah-mudah kita dapat menambah wawasan kita bahwa cerita lubdaka bukan hanya cerita dongeng belaka tapi Kisah yang sangat luar biasa dan penuh makna.



.

Klik to Info :