Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Free Website Hosting

Monday, December 28, 2009

Lestarikan Budaya Bali


SERBUAN budaya asing ke Bali patut menjadi perhatian kita semua. Seruan itu sudah lama didengungkan. Dibangunnya pusat kebudayaan seperti Ardha Candra Denpasar, juga dalam rangka melindungi budaya Bali.

Tentu tidak cukup hanya dibangun Taman Budaya. Kegiatan-kegiatan yang meramaikan taman Budaya mesti juga dilakukan. Jangan sampai taman budaya hanya ramai saat pesta kesenian Bali. Setelah itu seperti karang suwung; sepi tak ada kegiatan budaya atau berkesenian.

Kini di tengah serbuan wisatawan asing, domestik maupun pendatang ke Bali akan memberi dampak langsung kepada keteguhan budaya Bali. Hilangnya sawah-sawah di Denpasar- Badung dan diganti dengan mall, ruko, perumahan dan hotel akan memberi andil terkikisnya budaya Bali dan mulai masuknya budaya luar.

Monday, December 21, 2009

Pura Luhur Jati Luwih


PURA Luhur Jati Luwih berlokasi di wilayah Desa Adat Sarin Buana, Desa Wanagiri, Selemadeg, Tabanan. Berada di tengah-tengah hutan lindung pada sisi Sebelah tenggara punggung Gunung Batukaru dengan ketinggian sekitar seribu meter di atas permukaan laut, beriklim pegunungan yang dingin, dengan kelembaban udara yang cukup tinggi.


Pura ini diperkirakan telah berdiri pada abad ke-9 sampai 12 Masehi. Untuk mencapainya, para pamedek dapat melalui jalan raya jalur Denpasar-Gilimanuk, belok ke kanan jurusan Bajera Pupuan Sawah Wanagin hingga mencapai Desa Adat Sarin Buana. Dari Desa Sarin Buana kita harus memasuki hutan lindung lebih dan 3 km dengan kemiringan sekitar 45 derajat untuk mencapai pura ini.

Sangat sedikit sumber maupun catatan pengkajian yang mengungkap pendirian Pura Jati Luwih. Sumber yang dapat dikumpulkan melalui penuturan dan pemuka masyarakat, pemangku pura dan pelinggih pelinggih yang ada, serta tata upacara yang berlaku di pura tersebut. Berdasarkan penuturan Jero Mangku Gede (I Wayan Menteg) yang diyakini kebenarannya secara turun-temurun oleh masyarakat sekitar, pada zaman dahulu, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Batukaru, khususnya masyarakat di sekitar wilayah pura mengalami kemarau panjang sehingga lahan pertanian kering tidak menghasilkan. Masyarakat pun mengalami kelaparan oleh peristiwa itu.


Dengan harapan untuk bertahan hidup, sebagian masyarakat masuk ke hutan untuk berburu maupun mendapatkan beberapa bahan makanan. Beberapa di antaranya kawehan (mengalami kehilangan pandangan normal dan mengalami penglihatan gaib) dan melihat sawah yang padinya menguning dan sebuah rumah indah. Oleh sang kakek yang menjadi pemilik rumah dan padi itu, warga tersebut diajak singgah ke rumah.


Di sana warga yang berburu itu diberi beberapa helai bulir bibit padi gaga (tegalan) dan berpesan agar padi tersebut ditanam dan dikembangkan di desanya. Setelah menerima bibit padi, tiba-tiba kakek tersebut menghilang seketika dan rumah yang bagus tersebut kini berubah menjadi bebaturan dalam kesadaran yang pulih dari pemburu tersebut.


Bibit padi tersebut ternyata berkembang dengan baik dan di tempat bebaturan itu didirikan pelinggih untuk mengupacarai setelah padi menguning atau menjelang panen. Pelinggih tersebut diberi nama Pucak Sari. Pura Pucak Sari adalah pura yang pertama didirikan untuk penunasan amerta. Tempat itu diberi tanda denganpelawa yang ditancapkan. Sementara desa di mana bibit path itu ditanam dikenal oleh masyarakat sebagai Desa Sarin Buana yang memiliki anti tempat sari-sarinya buana atau inti sari bumi yang memberi sumber kehidupan dan kemakmuran.


Dikatakan Jero Mangku Gede, sebelum zaman kernjaan di Tabanan, Pura Luhur Jati Luwih dikenal dengan Pura Luhur Sanin Buana, sama dengan nama desa adat sebagai pengempon pura fersebut. Miilai pada zaman kerajaan, nama Pura Sanin Buana diubah menjadi Pura LuhurJatiLuwih untuk tidak mengaburkan nama Pura Sarin Buana dengan nama Desa Adat Sarin Buana.


Pura Luhur Jati Luwih berarti pura yang berada di atas, di dataran tinggi, yang benar-benar utama, mulia atau baik (luwih). Menurut keyakinan masyarakat setempat, Pura Luhur Jati Luwih juga bermakna tempat suci yang benar-benar selalu memberikan kebaikan dan kesejatian dan hal yang dimohon pada tempat ini.

Dalam perjalanan sejarah, ternyata Pura Luhur Jati Luwih mengalami beberapa kali renovasi sehingga banyak bukti kepurbakalaan hilang. Semgat pemangku pura, pemugaran yang diketahuinya pertama dilakukan tahun 1971, disusul dengan pemugaran kedua tahun 1978 dan pemugaran ketiga tahun 1993. Berdasarkan cerita, bentuk asli pelinggih sebelum dipugar adalah berbentuk bebaturan yang berundak dengan batu menhir tertancap pada sisi-sisi samping ruang altar pemujaan.

Dari pengkajian yang dilakukan termasuk oleh Bappeda Tabanan disimpulkan, bangunan asli pelinggih Pura Luhir Jati Luwih merupakan bangunan zaman batu besar (megalitikum) dengan tradisi kebudayaan Hindu klasik. Di antara delapan buah pelinggih yang berjajar menghadap ke selatan hanya satu buah yang masth berbentuk bebaturan hingga kini yaitu pelinggth paling timur untuk pemujaan Ida Batari Pemutering Danu (Ulun Danu).


Sementara bangunan pelinggth lainnya telah diganti dengan bangunan pelinggih gegedongan yaitu gedong kereb dua buah sebagai pelinggih pokok untuk penghayatan ke Pucak Kedaton dan Pelinggih Agung Ida Batara Luhir Jati Luwih. Sedangkan lima buah pelinggih lainnya berbentuk gedong sekapat makereb duk (beratap ijuk) masing-masing beruangan satu.


Ada satu pelinggih penghayatan ke Majapahit berupa Padma Capak Alit, menggambarkan pura tersebut mengalami proses perkembangan dan satu periode ke periode lainnya, dan zaman kuno hingga adanya pengaruh Jawa, yang diperkirakan zaman Mpu Kuturan Sebagai tokoh suci sekaligus arsitek penataan pura di Bali.


Uniknya seluruh pelinggih yang ada berupa bangunan pendek-pendek, berbeda dengan pura lainnya di Bali yang menjulang tinggi Dan peninggalan sejarah dan konsep pemujaan di pura itu, diperkirakan Pura Jati Luwih dibangun zaman Apaniyaga yaitu peralihan zaman Bali Aga ke zaman pengaruh Jawa sekitar abad ke-9 sampai 12 Masehi. Peninggalan sejarah berupa prasasti yang terdapat di desa Sarin Buana bertahun Caka 1103, zaman pemerintahan Raja Jaya Pangus.

Bukti penunjuk lain, juga terdapat peninggalan sejarah yang tersimpan di Pura Siwa Desa Adat Sarin Buana berupa batu berbentuk kepala babi dan beberapa buah gong serta peralatan upacara berupa bajra atau genta. Dan bukti tersebut, menunjukkan Pura Luhur Jati Luwih merupakan pura yang cukup tua dengan karakteristik pemujaan pada puncak gunung sebagai purusa dan ulun danu sebagai pradana. Masyarakat pendukung telah mengenal sistem pertanian dan menetap dalam lingkungan desa pakraman.


Sejak dulu, pura ini dibina atau diayomi langsung oleh Puri Agung Tabanan dan penganceng dari pura ini adalah Jero Subamia Tabanan yang pada zaman kerajaan sebagai patihnya Raja Tabanan.

Mencari Jati Diri

Hampir setiap jengkal tanah yang ada di Bali merupakan bagian dari jejak suci perjalanan orang-orang suci yang datang ke Bali. Salah satunya, Dang Hyang Dwijendra. Hal ini senantiasa memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi warga hingga kini. Di manapun beliau berada, membuat suatu perubahan yang mempunyai nilai religius sangat tinggi. Salah satunya, Pura Tugu yang terletak di Desa Tegal Tugu, Kecamatan Gianyar. Apa dan bagaimana makna dan filosofi pelinggih yang ada di Pura Tugu?

KATA “tugu” dari hahasa Jawa disamakan dengan candi. Dan, hal tersebut juga benar adanya sebagaimana yang terdapat di Pura Tugu. Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh (Dang Hyang Dwijendra), dibuat menyerupai candi. Banyak orang yang belum mengetahui tentang keberadaan Pura Tugu. Namun keberadaan pura ini tercantum dalam Dwijendra Tatwa.
Nama Pura Tugu ini sangat jelas sekali disebutkan keberadaannya yang berkaitan dengan perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra saat ada di Gianyar. Selain tercantum dalam Dwijendra Tatwa, keberadaan Pura Tugu ini, menurut Dewa Mangku Tugu, disinyalir juga tercatat dalam prasasti yang ada di Puri Gianyar.

Dewa Mangku menjelaskan bahwa Pura Tugu yang terletak di pinggiran Tukad Cangkir merupakan pura yang masih diempon oleh pihak Puri Gianyar hingga saat ini. Selain Pura Tugu, di areal pura tersebut masih berkaitan dengan keberadaan Pura Melanting dan Pura Dalem Segening yang merupakan pura dari trah Dewa Agung Manggis, Raja Puri Gianyar. Hal ini juga dapat dilihat dari keberadaan pohon manggis di areal pura tersebut.
Pohon yang jumlahnya sebanyak empat buah ini, konon telah berusia ratusan tahun. Dewa Mangku yang berasal dari keluarga pemangku secara turun-temurun sebagai pengayah di pura tersebut, mengakui seingatnya bahwa pohon tersebut telah ada dan ukurannya tidak jauh mengalami perubahan.

Pura Tugu berada di hulu Desa Tegal Tugu. Tepatnya di sebelah timur lapangan Tegal Tugu. Pura ini dilihat dari luar tampak sekali mempunyai perbedaan dengan pura lainnya. Khususnya, pada bebentaran angkul-angkul pura.

Saat memasuki pura tersebut sama sekali pada angkul-angkul pura tidak ada gelung kori (atap). Konon, arsitektur Candi Bentar tersebut berkaitan dengan kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke pura tersebut. Meski demikian, di Pura Tugu ini tetap berkonsepkan pada Tri Mandala. Pura Tugu terdiri atas bagian utama mandala, madya mandala dan nista mandala.
Di bagian utama mandala (jeroan) terdapat sejumlah pelinggih. Di antaranya, Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh yang bentuknya menyerupai candi dengan dua pelinggih pengabih. Di depan pelinggih candi terdapat pelinggih Gedong Betel yang merupakan tempat berias tatkala diselenggarakan piodalan. Di bagian jeroan juga ada Pelinggih Ulun Suwi dan Pelinggih Batara Segara, serta sejumlah pelinggih lainnya. Sementara di bagian madya mandala sama sekali tidak terdapat pelinggih. Namun dua pengapit dan dua sedan tampak pada bagian nista madala pura. Selain itu, di bagian utama mandala juga terdapat bangunan Pura Dalem Segening. Letaknya yang dalam satu kawasan ini hanya dibatasi dengan tembok penyengker.

Pelaksanaan piodalan di Pura Tugu dilakukan setiap Anggarkasih, Medangsia. Warga yang mengaturkan bakti selain dari Desa Tegal Tugu, juga banyak pemedek dari luar Gianyar yang datang saat piodalan. “Bukan saja di setiap diaturkan piodalan, setiap hari purnama dan tilem juga ada warga yang datang untuk bersembahyang,” ujar pemangku pura.

Bahkan, kini bayak warga yang berasal dari golongan brahmana datang ke Pura Tugu guna melakukan persembahyangan. Dalam pura tugu tersebut, salah satu pelinggih yang ada juga merupakan pesimpangan Batara Sakti yang berstana di Pura Manuaba.
Kilas balik keberadaan Pura Tugu, diceritakan bahwa dalam perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang sampai di suatu pemukiman penduduk. Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang, beliau ingin beristirahat dan saat itu berhenti di luar suatu pura kahyangan. Tiba-tiba, di tengah peristirahatan beliau datang seorang pemangku (pendeta pura) dan dalam pura setelah menyapu dan melalukan pembersihan, menghampiri Dang Hyang Dwijendra yang berhenti di luar pura. Setelah bertemu, pemangku pura tersebut kemudian menyuruh beliau untuk menyembah ke dalam pura. Dang Hyang Dwijendra saat itu tak membantah dan menuruti permintaan dari pemangku untuk menyembah di pura tersebut. Bergegaslah beliau masuk ke pura diiringi oleh pemangku. Beliau bersila berhadapan dengan bangunan pelinggih yang ada di pura tersebut lain melakukan yoga.

Tiba-tiba saja bangunan pelinggih tersebut rusak, membuat pemangku terkejut disertai dengan perasaan terharu melihat kenyataan tersebut. Pemangku pun menangis dan meminta maaf atas kesalahannya dan memohon agar bangunan pelinggih tersebut dikembalikan lagi seperti semula.

Dengan kesucian dan yoga dari Dang Hyang Dwijendra, akhirnya bangunan pelinggih (Gedong Betel) yang ada di pura tersebut kembali seperti semula. Pada kesempatan tersebut, atas kesucian dan kesaktian dari Dang Hyang Dwijendra, beliau memberikan kancing gelung yang dimilikinya kepada pemangku pura. Kancing gelung tersebut agar ditempatkan di pura yang diemponnya, yang kini bernama Pura Tugu.

Sebagaimana biasanya, setiap piodalan di Pura Tugu, menurut penuturan tetua di desa setempat, kancing gelung tersebut dipendak (dijemput) untuk diupacarai di pura dari tempat panyimpenannya di Puri Gianyar. Hal itu pun berlaku hingga kini.
Dan sepenggalan cerita keberadaan Pura Tugu, betapa makna yang dalam dari apa yang terjadi saat itu. Betapa kesucian dari yoga mempunyai nilai yang sangat tinggi. Demikian pula dalam hal kerendahan hati yang harus kita miliki dalam menemukan jati diri. Meski dalam hal ini beliau mengetahui apa yang akan terjadi pada pelinggih pura tersebut di saat akan melakukan persembahyangan di pura yang diempon oleh pemangku tersebut.
Sementara itu, selama sebagai pengayah di Pura Tugu, Dewa Aji Mangku mengakui bahwa di samping sering didatangi warga setempat dari luar daerah banyak pula pejabat yang tangkil ke pura tersebut. Mereka datang dengan membawa sesajen melakukan persembahyangan di depan Pelinggih Dang Hyang Dwijendra. Kedatangan mereka sebagaimana warga lainnya yang memohon keselamatan.

Apa permohonan mereka di luar itu, Dewa Aji Mangku mengaku tidak tahu. “Apa maksud dan tujuan dari mereka yang datang sama sekali tidak diketahui,” ujarnya. Namun, di Pura Tugu juga merupakan tempat bagi calon pandita (pedanda). Di antara calon orang suci ini datang melakukan persembahyangan dengan sesajen lengkap untuk meminta restu serta pawintenan termasuk padiksaan.

Bahkan, ada juga pedanda yang datang ke pura tersebut hanya untuk mempasupati buku-buku pelajarannya, serta ngewintenan bajra yang dipergunakan untuk melakukan proses upacara. Pura Tugu juga dipercaya sebagai pemberi berkah intelektual. Di samping kesehariiannya, siswa-siswa sekolah setempat melakukan persembahyangan, ada pula warga yang secara khusus datang ke pura untuk memohon wahyu untuk dapat sukses menyelesaikan pendidikannya.

Friday, December 18, 2009

Meditasi dengan gaya Gayatri

MEDITASI DENGAN GAYATRI MANTRA

Sudah dikatakan Gayatri mantram mempunyai vibrasi sangat kuat terhadap otak dan batin asalkan tahu bagaimana cara menggunakan mantra tersebut. Meditasi
pada hakekatnya berhubungan dengan pikiran, kesadaran, serta spirit dan sangat dibutuhkan guru yang khusus. Apabila anda ingin menjadikan Gayatri Mantra sebagai bagian dari meditasi anda harus melakukan puasa putih(tanpa garam, dan tidak minum susu) selama dua hari untuk memohon berkat kepada Maha Dewi.

Lakukan puasa mulai hari Rabu (pagi) sampai Jumat (pagi) hanya makan nasi putih dan air putih saja dan lakukan puja Gayatri setiap pagi menghadap matahari
terbit, siang hari, dan malam hari. Dalam mengucapkan Gayatri mantra enam kali untuk pagi hari, empat kali untuk siang hari, dan dua puluh sembilan kali untuk
malam hari. Lakukan puasa dan puja Gayatri dengan ketulusan hati jangan memohon suatu daya-daya sakti tertentu sebab belum tentu keinginan anda akan
terpenuhi. Setelah melakukan puasa dan puja gayatri selama dua hari barulah anda di perkenankan untuk melakukan meditasi ternadap Gayatri mantra sebab api spirit anda sudah menyala.

Tambahan:
Dalam penjelasannya puasa putih ini dapat dilakukan sehari saja tapi harus pada hari kelahirannya. Misalnya lahir hari Senen, maka puasa dilakukan pada Senen pagi hingga Selasa pagi.

TEORI MEDITASI

Sebelum meditasi cucilah muka, tangan, serta kaki, atau anda mandi untuk membersihkan badan dari kotoran sekaligus membuat badan menjadi segar. Duduklah dengan memakai alas dari kain, tikar, atau selimut, posisi punggung tegak lurus dan tangan diletakkan dipangkuan dalam posisi relek. Pejamkan mata, serta tenangkan pikiran berberapa detik, setelah itu ucapkan mantra "

OM Bhur, OM Bhuvah, OM Svah"

ucapkan dengan suara lambat serta santai jangan tergesa-gesa sebanyak lima
kali, ini bertujuan untuk membersihkan lapisan pikiran.

Pada saat mengucapkan mantra ini arahkan pikiran pada mantra dan suara bukan pada bayangan pikiran. Setelah baca mantra selesai tutuplah mulut serta tenangkan pikiran lalu ucapkan Gayatri mantram

" OM Bhur, Bhuvah, Svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya
dimahi, dhiyo yo nah pracodayat"

dengan lambat dan tenang di dalam hati. Arahkan pikiran serta getaran suara mantra pada jantung, anda cukup meniatkan saja bukan membayangkan.

Meditasi dengan Gayatri mantram sangat efektif untuk berbagai macam keperluan seperti melindungi diri dari energy negatif, kecantikan, kekuatan batin, kecerdasan
dan lain-lain. Kekuatan Gayatri mantra tidak bisa berfungsi apabila disertai niat kurang baik. Meditasi Gayatri mantra apabila dilakukan dengan baik serta
tulus akan banyak muncul keajaiban-keajaiban yang tidak bisa kita sangka. Gayatri mantra bukan bekerja pada maksud si meditator namun, karunia, energy,
rahmat, dari Maha Devi Gayatri yang berhak menentukan. Bagaikan mobil, sang supirlah yang tahu kemana tujuan dari mobil itu, bukan tujuan dari mobil tersebut yang dituruti sang supir.

Energy Gayatri masuk dari ubun-ubun melalui tulang belakang serta menyebar keseluruh tubuh fisik, tubuh energy, dan atma. Banyak guru-guru suci yang tercerahkan mengatakan "pencerahan akan kalian dapatkan pada Gayatri mantra. Pada jaman kali yuga ini tiada yang mampu melepaskan lapisan kekotoran pikiran
selain getaran halus dari Gayatri mantra.

TIPS

Apa bila anda merasa ada sakit yang disebabkan oleh ulah niat jahat seseorang, dan kalau percaya dengan hal ini anda bisa menggunakan cara berikut ini. Sediakan air bersih , higienis, untuk diminum, lalu jemurlah air tersebut pada cahaya matahari serta cahaya bulan di malam hari. Setelah air tersebut dijemur oleh kedua unsur cahaya tersebut berdoalah pada Tuhan sambil membaca Gayatri mantram 11 kali, setiap habis membaca gayatri mantram tiupkan nafas anda pada air tersebut. Air tersebut bisa diminum atau dipakai campuran obat, mandi dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini segala macam bentuk energy jahat dari seseorang akan hancur oleh kekuatan dari mantra tersebut, hal ini sering terbutkti di daerah-daaerah terpencil. Ada banyak lagi cara-cara yang bisa dijadikan renungan, betapa Gayatri mantra mempu untuk menghadapi dilema dalam hidup ini.


===================================================


Monday, December 14, 2009

Karma Pala

Agama Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala (karma = perbuatan; phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi)

Sunday, December 6, 2009

Catur Asrama

CATUR ASRAMA home

Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu : Brahmacari, Grhastha, Vanaprastha, dan Bhiksuka. Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
Brahmacari
Brahmacari adalah masa belajar, masa menuntut ilmu/pendidikan. Brahmacari dalam arti sempit adalah masa belajar secara formal misalnya belajar sejak TK sampai perguruan tinggi. Brahmacari dalam arti yang lebih luas, adalah upaya meningkatkan pengetahuan dengan berbagai cara (formal dan informal) yang berlangsung sepanjang masa kehidupan karena sebenarnya proses belajar-mengajar berlangsung tiada henti. Brahmacari dalam arti khusus ada dua yaitu :
1) Brahmacari dalam kaitan masa aguron-guron (belajar agama/spiritual) seorang sisya (siswa) kepada Nabe (guruspiritual) dimana Nabe tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik dan melatih, dan
2) Brahmacari dalam arti menjauhkan diri dari keinginan sex atau tidak kawin/nikah selama hidup. Yang terakhir ini disebut sebagai sukhla brahmacari. Pentingnya Brahmacari Ashrama, disebutkan dalam Atharvaveda sebagai berikut :

Brahmacaryena tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate (XI.5.17). Sa dadhara prthivim divam ca (XI.5.1). Tasmin devah sammanaso bha vanti (XI.5.1)

Artinya :
Seorang pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan seorang guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang yang sempurna; Seseorang yang melaksanka brahmacari akan menjadi penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi) bersemayam pada diri seorang brahmacari.

Dari kutipan Veda itu jelaslah kiranya bahwa kewajiban manusia yang utama dan yang pertama dilakukan adalah menuntut ilmu atau belajar dan berpendidikan, karena dari pendidikan/pengajaranlah pikiran dikembangkan untuk menuju kepada Catur purushaarta seperti yang telah dikemukakan dalam uraian tentang catur purushaarta terdahulu. Pelajaran dan pendidikan juga akan membangun kemampuan berpikir untuk memilah antara dharma (perbuatan baik) dan adharma (perbuatan tidak baik) sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup.
Kitab suci Sarasamusccaya 2 :
Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesvevavakarayet.

Artinya :
Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik segala yang buruk itu; demikianlah pahalanya menjadi manusia.
Dalam Upanisad disebutkan pula bahwa arti kata Manusah adalah : Manu = kebijaksanaan, sah = mempunyai. Jadi manusia adalah mahluk yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia yaitu Sabda (kemampuan berbicara), Bayu (kemampuan bergerak) dan Idep (kemampuan berpikir). "Idep" yang dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan akan menjadikan manusia itu lebih bijaksana sehingga disebut sebagai manusia yang sempurna. Mahluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja yaitu kemampuan bergerak (bayu) dan kemampuan bersuara (sabda). Binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir (idep) oleh karena itu binatang beraktivitas berdasarkan naluri, tidak berdasarkan pikiran. Tumbuh-tumbuhan hanya mempunyai kemampuan tumbuh (bayu) saja, tidak mempunyai sabda dan idep.Selanjutnya Sarasamusccaya menyatakan bahwa kita wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi manusia, mahluk yang utama, karena itu gunakanlah kesempatan hidup yang sempit ini dengan sebaik-baiknya, kesempatan mana sungguh sangat sulit diperoleh; lakukanlah segala sesuatu yang baik (melalui brahmacari) yang mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan, gunakanlah kesempatan ini untuk mencapai moksa/sorga. "Paramarthanya, pengpengen ta pwa katemwaniking si dadi wwang, durlabha wi ya ta, saksat handaning mara ring swarga ika, sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena"
Grahasta



Grahasta home

Grhastha adalah masa berumah tangga, masa menikah dan mengembangkan keturunan. Dalam menempuh ashrama yang kedua ini diupayakan terwujudnya rumah tangga/keluarga yang bahagia. Kebahagiaan ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/perumahan, semuanya disebut artha. Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi yang disebut dharma, dan unsur non material lainnya : pendidikan, sex, kasih sayang antara suami - istri - anak, mempunyai keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat yang semuanya disebut kama. Berkeluarga mempunyai arti dan kedudukan khusus dalam kehidupan manusia karena melalui pernikahan lahirlah anak-anak yang disebut putra.
Kata putra terdiri dari dua pokok kata yaitu "PUT" artinya neraka, dan "RA" artinya menyelamatkan. Jadi putra adalah anak yang menyelamatkan orang tuanya dari neraka.Disebut demikian karena anaklah yang merawat orang tuanya ketika mereka secara phisik dan mental sudah tua dan kurang mampu mengurus diri sendiri. Disamping itu sesuai dengan tradisi beragama Hindu di Bali, anak mempunyai kewajiban melaksanakan upacara pitra yadnya bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia, dengan tujuan agar roh/atma-nya terbebas dari ikatan Panca Mahabutha dan Panca Tanmatra.
Cinta kasih dalam hubungan anak orang tua berlangsung timbal balik; sejak anak masih dalam kandungan ibu sampai dewasa dan mandiri, orang tualah yang berkewajiban mengurus dan setelah anak memasuki grhastha ashrama, anaklah yang wajib mengurus orang tuanya. Hidup berkeluarga diawali dengan "pawiwahan" maka oleh karena itu pawiwahan dalam Manawa Dharmasastra disebut sebagai "Dharmasampati" artinya pelaksanaan dharma. Kebalikannya dan yang tergolong adharma adalah perceraian.
Agar terwujud keluarga yang bahagia, Manawa Dharmasastra Buku ke-3 (Tritiyo dhyayah) mengatur sejak cara melaksanakan pawiwahan sampai cara membina keluarga bahagia.
Beberapa sloka yang penting antara lain :
21 : Brahmo daivastathaivarsah, prayapatyastathasurah, gandharva raksasascaiva, paisacasca astamo dharmah (delapan cara pawiwahan adalah : brahma, daiwa, rsi, prajapati, asura, gandharwa, raksasa dan pisaca).
Dari delapan cara pawiwahan itu ada tiga cara yang dewasa ini sudah tidak sesuai karena melanggar hukum yaitu : asura, raksasa dan paisaca. Sedangkan diantara lima cara sisanya, yang paling populer adalah prajapatya yaitu pawiwahan atas dasar cinta sama cinta dan direstui kedua pihak orang tua. Selanjutnya cara gandharva di Bali sering terjadi, dimana pawiwahan didasari oleh sama-sama cinta tetapi tidak diketahui (mungkin tidak direstui) oleh salah satu pihak orang tua. Cara yang lain misalnya brahma, daiva, dan rsi kini kurang populer di masyarakat karena ada unsur campur tangan yang lebih kuat pada pihak orang tua sehingga terkesan sebagai diarahkan atau dipaksaan. Beberapa sloka yang perlu diketahui dalam melakukan hubungan sex antara suami - istri antara lain :


45 : Rtu kalabhigamisyat, swadaraniratah sada, parwawarjam wrajeccainam, tad wrato rati kamyaya (hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan selalu merasa puas dengan istrinya seorang; ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan sex pada hari apa saja kecuali hari parwani = purnama/tilem).

48 : Yugmasu putra jayante, striyo yugmasu ratrisu, tasmadyugmasu putrarthi, samvice dartave striyam (kalau menggauli istri pada hari-hari yang genap maka anak laki-lakilah yang lahir, sedangkan pada hari-hari yang ganjil anak perempuanlah yang lahir; karena suami yang menginginkan anak laki-laki hendaknya menggauli istrinya hanya dimasa yang baik pada hari-hari genap).
Yang dimaksud hari-hari genap adalah bilangan genap pada panglong dan penanggal. Panglong adalah hari-hari dari purnama ke tilem, sedangkan penanggal adalah hari-hari dari tilem ke purnama. Sehari setelah purnama, disebut "panglong ping pisan (1)" ini disebut hari ganjil sedangkan besoknya "panglong ping kalih (2)" disebut hari genap demikian seterusnya panglong ganjil dan genap silih berganti sampai panglong ping 14; panglong ping 15 adalah tilem, disarankan tidak mengadakanhubungan sex. Sehari setelah tilem (bulan gelap) disebut "penanggal ping pisan (1)" sebagai hari ganjil dan keesokan harinya disebut "penanggal ping kalih (2) sebagai hari genap, demikian seterusnya penanggal ganjil dan genap silih berganti sampai penanggal ping 14. Penanggal ping 15 adalah purnama, disarankan untuk tidak mengadakan hubungan sex. Dalam Kamasutra dijelaskan lebih rinci tentang cara-cara mengadakan hubungan sex. Hal penting yang dilarang adalah mengadakan hubungan sex dengan meniru cara-cara binatang, dan hubungan sex disaat istri sedang menstruasi. Hubungan sex juga dilarang disaat salah satu atau keduanya sedang mabuk, tidak sadarkan diri, takut, sedih, dan marah.
Peranan istri dalam keluarga sangat penting seperti yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra

III.56 : Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah, yatraitastu na pujyante, sarwastatraphalah kriyah (dimana wanita dihormati disanalah pada dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala).

57 : Socanti jamayo yatra, vinasyatyacu tatkulam, na socanti tu yatraita, wardhate taddhi sarvada (dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia).

60 : Samtusto bharyaya bharta, bhartra tathaiva ca, yaminneva kule nityam, kalyanam tatra vai dhruvam (pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal).

Pelaksanaan dharma dalam hidup berkeluarga ditegaskan dalam MD.III. 63, 66, 75, 94, 106, 117 dan 118. Pada intinya mengatur agar suatu keluarga senantiasa melaksanakan pemujaan kepada Hyang Widhi, mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Weda, menghormati orang - orang suci, menghormati tamu yang datang kerumah, dan berdana punia.

Wanaprasta

Wanaprasta home


Setelah berhasil melaksanakan grhastha ashrama (kehidupan berumah tangga) dengan baik maka tahapan berikutnya adalah vanaprastha. Ukuran yang digunakan menilai keberhasilan melaksanakan grhastha antara lain sudah tua, dan sudah mempunyai keturunan atau penyambung generasi yang mapan.
Pengertian lebih luas pada ketuaan adalah selain usia lanjut, juga mempunyai banyak pengalaman hidup, mampu mengatasi gelombang pahit getirnya kehidupan, serta mempunyai kebijaksanan yang dilandasi oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Keturunan atau generasi lanjutan yang mapan adalah anak kandung atau anak angkat yang sudah mandiri, mampu berdiri sendiri dalam menjalani kehidupan, dan tidak bergantung lagi pada orang tua baik dibidang ekonomi maupun yang lainnya. Jika dikaitkan dengan tahapan pekerjaan atau tugas, keadaan yang sesuai untuk vanaprastha adalah bila telah memasuki masa pensiun, jadi usia ketika itu sekitar 56 atau 60 tahun. Disaat itu biasanya kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sudah selesai secara skala dan niskala. Selesai secara skala artinya seperti uraian diatas, yaitu anak-anaknya sudah mandiri; selesai secara niskala artinya upacara manusia yadnya bagi anak-anaknya sudah selesai diselenggarakan. Sesuai dengan tradisi beragama Hindu di Bali yang mengacu pada Lontar Dharma Kauripan, Yadnya Prakerthi, dan Yama Purana Tattwa, upacara manusia yadnya yang menjadi kewajiban orang tua kepada anak dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai pawiwahan dengan urut-urutan sebagai berikut : magedong-gedongan, mapag rare, kepus puser, tutug kekambuhan, nigang sasihin, otonan, ngeraja sewala, dan mepandes.
Vanaprastha tidaklah diartikan sebagai meninggalkan rumah lalu pergi menyepi kehutan untuk bertapa, tetapi vanaprastha dimaknai sebagai hidup yang hening dan suci, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian, dan menguatkan pengendalian diri berdasarkan ajaran Agama Hindu. Ajaran agama yang diperoleh pada masa brahmacari kini dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari secara lebih mantap, lebih memusatkan perhatian pada bidang spiritual.
Orang yang melaksanakan vanaprastha disebut vanaprasthin, hendaknya selalu menjaga kesucian dan kesehatan jasmani/rohani, banyak melakukan pekerjaan mulia, bijaksana, bersahabat, berbicara manis dan menyenangkan, melakukan sadhana, melaksanakan latihan-latihan kerohanian (yoga), melakukan berbagai "vrata" atau pengekangan diri, suka belajar dan bergaul pada orang-orang suci (Sulinggih), sering me-dharma yatra, dll.
Pekerjaan mulia dalam arti seluas-luasnya adalah implementasi trihitakarana sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi. Trihitakarana mencakup unsur-unsur "parhyangan" adalah keselarasan hubungan manusia dengan Hyang Widhi, "pawongan" adalah keharmonisan hubungan sesama manusia, dan "palemahan" menjaga kelestarian alam semesta.
1. Sadhana menurut kitab suci Wrehaspati-tattwa adalah : mengerti pada ajaran Weda, tidak terikat pada pengaruh indria, dan tidak berharap menikmati hasil karya swadharma.
2. Vrata adalah pengekangan diri terhadap materi dan cara berbicara (mona), makanan dan minuman (upawasa), dan menjauhkan sifat-sifat malas atau suka tidur (jagra). Dalam masa vanaprastha, diupayakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan bidang spiritual di masa sebelumnya yaitu masa brahmacari dan grhastha. Masa ini juga dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi untuk menjadi manusia yang sempurna. .
Manusia yang sempurna menurut Upanisad adalah manusia yang mengetahui tentang "diri-nya" sebagaimana dinyatakan dalam Katha
Upanisad 1.3.3 dan 4 :
Atmanam rathinam vidhi, sariram ratham eva itu, buddhim tu sarathim viddhi, manah pragraham eva ca. Indriani hayan ahur visayam tesu gicaran, atmendriye mano yuktam bhoktety ahur manisinah.
Artinya :
Ketahuilah bahwa atman adalah tuannya sebuah kereta, dan kereta itu adalah badan jasmani; ketahuilah pula bahwa budhi itu adalah kusirnya kereta, pikiran adalah tali kekangnya, indria disebut sebagai kudanya, dan sasaran indria adalah jalanan. Atman yang dihubungkan dengan badan jasmani, budhi, pikiran dan indria yang terkendali dengan baik itulah kenikmatan sejati yang dikatakan oleh orang-orang yang bijaksana karena membawanya kejalan dharma.
Makna dari Upanisad ini menegaskan persyaratan seorang manusia yang sempurna adalah mempunyai badan yang sehat (diibaratkan sebagai badan kereta yang kuat), budhi yang baik (diibaratkan sebagai kusir yang pandai), pikiran yang sehat (diibaratkan sebagai tali kekang yang kuat), indria yang sehat (diibaratkan sebagai kuda yang sehat/kuat), dan arah kehidupan yang berke-Tuhan-nan (diibaratkan sebagai jalan yang jelas).
Dalam Manawa Dharmasastra Buku V. 109 disebutkan sebagai berikut :
Adbhirgatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyati, widyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena cuddhyati.
Atinya : Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.
Tubuh dibersihkan dengan air, artinya lebih luas tidak hanya mandi, tetapi termasuk memelihara badan/jasmani dengan memakan sesuatu yang baik (satvika ahara).
Permohonan memperoleh kesempurnaan hidup disebutkan dalam
Yayurveda XXXVI. 24 :
Om tac caksur devahitam purastacchukram uccarat, pasyema saradah satam, jivema saradah satam, srnuyama saradah satam, pra bravama saradah satam, adinah syama saradah satam, bhuyasca saradah satat.

Artinya :
Ya Hyang Widhi, semoga kami selama seratus tahun dapat menyaksikan mata-Mu yang bersinar itu diatas kehendak-Mu, muncul dihadapan kami, semoga kami hidup selama seratus tahun, semoga kami mendengar selama seratus tahun, semoga kami berkata yang baik selama seratus tahun, semoga kami dapat menegakkan kepala selama seratus tahun, ya bahkan lebih dari seratus tahun. Makna dari mantram Yayurveda itu adalah permohonan agar mendapatkan sinar terang dalam artian pendekatan spiritual kepada Hyang Widhi sebagai Yang Maha Kuasa serta diberikan waktu yang cukup untuk menyempurnakan kehidupan di dunia sebelum sampai tiba saatnya Atman bersatu dengan Brahman (moksa)
BHIKSUKA home

Setelah melalui tiga dari catur ashrama yaitu Brahmacari, Grhastha, dan Vanaprastha, maka bahasan selanjutnya adalah catur ashrama yang terakhir yaitu Bhiksuka. Bhiksuka juga dikatakan Sanyasin. Namun kehidupan Sanyasin yang benar-benar sesuai dengan Upanisad sangat sulit dilaksanakan. Sanyasin lebih tinggi dari Bhiksuka karena seorang Sanyasin sudah sama sekali terlepas dari ikatan-ikatan keduniawian, bahkan sudah tidak merasa mempunyai anak, cucu, dan keluarga lain, tidak memperhatikan dirinya dan meninggalkan rumah, berkelana menjalankan kesucian dan hidupnya dari meminta-minta atau dana punia masyarakat. Kematiannya yang ideal adalah secara moksa, atau jika belum mampu meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad (layon) maka Sanyasin memilih meninggal dunia di gunung, hutan, atau dipinggir sumber/mata air/sungai yang bersih dan laut.
Dalam sejarah perkembangan agama Hindu di Bali, para Sanyasin itu antara lain : Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Danghyang Nirartha, dll. Yang umum dan realistis dapat dilaksanakan dewasa ini adalah Bhiksuka. Secara sempit bhiksuka dikatakan menjadi Pandita (Pendeta, Romo Pandito, Sulinggih).
Arti lebih luas dari bhiksuka adalah menjalani kehidupan "sebagai" Pandita. Jadi walaupun tidak formal menjadi Pandita (artinya tetap sebagai Walaka, tidak melalui upacara dwijati), tetapi jika cara menempuh kehidupannya sudah mengikuti kriteria Pandita maka dia dapat disebut Sang Bhiksuka.

Bhagawadgita IV.19 :
Yasya sarve samarambhah, kamasamkalpavarjitah, jnanagnidagdhakar manah, tam ahuh panditam budhah.

Artinya : Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya, dan kepercayaannya dinyalakan oleh api pengetahuan, kepada ia dinamakan Pandita oleh orang-orang yang bijaksana. Berbuat tanpa pamrih dalam Upanisad disebut sebagai Niskama Karma dimana keyakinan tentang ajaran Karma Phala sudah mendalam, bahwa Hyang WIdhi akan memberikan kebaikan kepada orang yang berbuat baik dan memberikan keburukan kepada orang yang berbuat buruk. Karena demikianlah hukujhjmnya maka orang yang sudah mendalami ajaran karma phala tidak akan memikirkan hasil karmanya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Hyang Widhi. Orang yang demikian ini sudah tidak lagi hanya "menyatakan" bhakti pada Hyang Widhi, tetapi sudah menjadi "kenyataan" bahwa ia seorang Bhakta yang sejati. Ia adalah orang yang sudah tidak berambisi pada kehormatan, kekayaan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Ia berbuat dharma semata-mata karena bhakti kepada Hyang Widhi (lihat uraian tentang Bhakti-marga). Selanjutnya tentang Jnana Agni yang disebut dalam Bhagawadgita IV.9 adalah kepercayaan pada Hyang Widhi berdasarkan pengetahuan sejati. Orang yang menjalani kehidupan diterangi oleh Jnana Agni, mempunyai pengetahuan tentang ke-Tuhanan melalui pengalaman rohani yang mendalam. Kebijaksanaannya dicerahkan oleh pengetahuan sucinya, bagaikan sinar matahari menerangi kegelapan jagat raya. Orang yang menjalani kehidupan bhiksuka, juga sudah terbebas dari rasa suka dan duka. Mereka disebut sebagai orang yang "Majnyana".
Kitab suci Sarasamusccaya sloka 500, 501, 502, 503, 504, 505, 506, 507, dan 508 menguraikan dengan jelas tentang majnyana, antara lain disebutkan bahwa : Sang majnyana adalah mereka yang tingkat kearifan budhinya tinggi karena pikirannya penuh dengan pengetahuan suci (jnanabala), sehingga mampu melenyapkan kesukaan hati dan kedukaan hati. Kedukaan hati akan menimbulkan kesakitan jasmani, dan kesukaan hati akan memabukkan. Orang yang berbudhi luhur adalah orang yang tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang, jernih, suci dan dalam kesadaran tinggi pada hakekat brahma widya dan atma widya yaitu pengetahuan tentang atman dan brahman
Bila pada masa Bhiksuka seseorang ingin secara formal menjadi Pandita, maka ia harus melalui proses me-Diksa. Diksa dalam bahasa Sanskerta artinya upacara penerimaan menjadi murid dalam kesucian. Istilah lain yang digunakan di Bali untuk me-Diksa adalah : ma-Suci (disucikan), ma-Linggih (kedudukan mulia), ma-Bersih (disucikan), ma-Podgala (menggunakan atribut kepanditaan), ma-Dwijati (lahir yang kedua kali).
Vanaprastha


a. Sukla Brahmacari
Sukla Brahmacari dalam Silakrama dijelaskan sebagai berikut:
“Sukla Brahmacari ngarannya tanpa rabi sangkan rere, tan maju tan kuring Sira, adyapi teku ring wreddha tewi tan pangicep arabi sangkan pisan” (Silakrama hal. 32)
Artinya:
Sukla Brahmacari namanya orang yang tidak kawin sejak lahir sampai ia meninggal. Hal ini bukan karena impoten atau lemah sahwat. Dia sama sekali tidak pernah kawin sampai umur lanjut.
Dalam wira cerita Ramayana, Teruna Laksamana ditampilkan sebagai sosok yang menjalankan Sukla Brahmacari. Betapa pun wanita menggoda, termasuk Raksasa Surphanaka, ia tetap teguh iman melaksanakan Sukla Brahmacari, yakni tidak pernah kawin sampai akhir hayat dikandung badan.
b. Sewala Brahmacari
Tentang Sewala Brahmacari juga dijelaskan didalm Silakrama sebagai berikut:
“ Sewala Brahmacari ngranya, marabi pisan, tan parabi, muwah yan kahalangan mati srtinya, tanpa rabi, mwah sira, adnyapi teka ri patinya, tan pangucap arabya. Mangkana Sang Brahmacari yan sira Sewala Brahmacari”
Artinya:
Sewala Brahmacari namanya bagi orang yang didalm masi hidupnya hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan salah satu meninggal dunia, maka ia tidak kawin lagi lagi hingga datang ajalnya. Demikianlah namanya Sewala Brahmacari.
Jadi, sudah jelas diberikan batasan bahwa orang yang melaksanakan Sewala Brahmacari itu hanyalah melakukan perkawinan sekali seumur hidupnya. Rintangan apa pun yang menjadi kendala ia tetap berpegang pada prinsip ajaran Sewala Brahmacari.
c. Krsna Brahmacari
Dalam ajaran Tresna atau Kresna Brahmacari sudah diberikan suatu kelonggaran yang lebih terkait dengan masa Grehasta. Tetapi tetap berwawasan dengan hukum alami. Oleh, karena itu, kelonggaran tersebut tidak bersifat liberal. Dalam pengertian Tersna atau Kresna Brahmacari, seseorang diizinkan kawin lebih dari satu kali dalam batas maksimal 4 kali. Itu pun dengan kententuan bahwa seseorang Brahmacari boleh mengambil istri kedua jika istri pertama tidak dapat melahirkan keturunan, tidak dapat berperan sebagai seorang istri (mungkin sakit-sakitan)dan bila istri pertama mengizinkan untuk kawin kedua kalinya.

Saturday, November 28, 2009

Kiamat 2012...?

Om Awignamastu

Percaya tidak percaya akan kiamat 2012 hendaknya kita serahkan semuanya pada Yang Kuasa.
Terlepas dari kata Kiamat.Pada hari yang lalu,Ketika kami nangkil/metirtayatra ke Pura
Muncak Sari.Penebel pada saat sembahyang Ida Sesuunan Ratu Lingsir rauh,menapak
salah seorang dasaran yang ikut pada rombongan.
Disana ada pewisik bahwa untuk Umat Hindu yang percaya hendaknya melakukan upacara
mecaru menjelang tahun 2012.Agar keseimbangan ala dapat terjaga.
Untuk lebih jelasnya tentang upacara yang dilakukan pada saat menjelang Tahun Baru 2012 dapat
ditanyakan langsung pada pemangku di Pura Luhur Muncak Sari ,Penebel...
Suksema

Om Santhi-santhi-santhi Om

Wednesday, November 18, 2009

Mari Sembahyang

Marilah kita memuja Tuhan, Ida Hyang Widhi Waça

Pemujaan kepada Tuhan dapat dilaksanakan dengan banyak cara. Salah satu di antaranya ialah dengan bersembahyang tiap hari. Kita yang beragama Hindu bersembahyang tiga kali sehari, pagi, siang dan malam hari. Sembahyang demikian disebut sembahyang Trisandhya. Mantram yang dipakaipun disebut mantram Trisandhya.

Mantram ini ditulis dalam bahasa Sansekerta, bahasa orang Hindu jaman dahulu. Kita boleh bersembahyang dengan duduk bersila, duduk bersimpuh atau berdiri tegak sesuai dengan tempat yang tersedia. Sikap duduk bersila disebut padmasana. Sikap duduk bersimpuh disebut bajrasana dan yang berdiri disebut padasana.

Setelah sikap badan itu baik, dilanjutkan dengan pranayama. Pranayama artinya mengatur jalannya nafas. Gunanya: untuk menenangkan pikiran dan mendiamkan badan mengikuti jalannya pikiran, bila pikiran dan badan sudah tenang maka barulah mulai bersembahyang.

Sikap tangan waktu bersernbahyang disebut sikap amusti. Mata memandang ujung hidung dan pikiran ditujukan kepada Sanghyang Widhi. Dalam keadaan seperti itu, sabda, bayu, idep harus dalam keadaan seimbang.

Kawitan Sembahyang


















Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang


  1. Purwakaning angripta rumning wana ukir.
    Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
    Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.

  2. Sukania harja winangun winarne sari.
    Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
    Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng
Pangayat - Menghaturkan sajen
Kidung Warga Sari


  1. Ida Ratu saking luhur. Kawula nunas lugrane.
    Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin.
    Titiang ngaturang pajati. Canang suci lan daksina.
    Sami sampun puput. Pratingkahing saji.

  2. Asep menyan majagau. Cendana nuhur dewane,
    Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit.
    Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko.
    Ancangan sadulur, sami pada ngiring.

  3. Bhatarane saking luhur. Nggagana diambarane.
    Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring.
    Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan,
    Prabhawa kumetug. Angliwer ring langit.

Wednesday, November 11, 2009

Tri Murti


Dalam ajaran Agama Hindu Trimurti adalah Tiga kekuatan Brahma (Sang Hyang Widhi)(sebutan Tyhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, meleburkan alam beserta isinya. Kata Tuhan merujuk kepada suatu Zat Abadi dan Supernatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah Manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; Kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
Trimurti terdiri dari 3 yaitu:
Dewa Brahma
Fungsi: Pencipta / UtpathiSakti: Dewi Saraswati yang merupakan dewi ilmu pengetahuanSenjata: GadaSimbol: AWarna: Merah
Dewa Wisnu
Fungsi: Pemelihara / SthitiSakti: Dewi Sri atau Dewi LaksmiSenjata: CakraSimbol: UWarna: Hitam
Dewa Siwa
Fungsi: Pelebur / PralinaSakti: Dewi Durga, Uma, dan ParwatiSimbol: MWarna: Manca WarnaApabila simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca "OM" ( ॐ ) yang merupakan simbol suci agama Hindu.

Tuesday, November 10, 2009

Sekilas Pengertian Tentang Weda

Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.


Srutistu wedo wijneyo dharma

sastram tu wai smerth,

te sarrtheswamimamsye tab

hyam dharmohi nirbabhau. (M. Dh.11.1o).


Artinya:

Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)


Weda khilo dharma mulam

smrti sile ca tad widam,

acarasca iwa sadhunam

atmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).


Artinya:

Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).


Srutir wedah samakhyato

dharmasastram tu wai smrth,

te sarwatheswam imamsye

tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).


Artinya:

Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.


Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.

Untuk mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda, maka dibawah ini akan diuraikan tiap-tiap bagian dari Weda itu sebagai berikut:


SRUTI

Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:


Rg. Weda atau Rg Weda Samhita.

Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.


Sama Weda Samhita.

Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi Jaimini.


Yajur Weda Samhita.

Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.


Atharwa Weda Samhita

Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.


Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.

Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara. Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.

Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya. Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.


SMERTI

Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.

Pokok-pokok keyakinan agama Hindu


Pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dibagi menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Sradha, yaitu percaya adanya Tuhan (Hyang Widhi), percaya adanya Atman, percaya adanya Hukum Karma Phala, percaya adanya Punarbhawa (Reinkarnasi/ Samsara) dan percaya adanya Moksa.

A. Percaya Adanya Tuhan ( Brahman/ Hyang Widhi) Tuhan Yang Maha Esa,

Yang Maha Kuasa, yang tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib dipanggil dengan berbagai nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun Ia hanya satu, Tunggal adanya.

“Ekam eva adwityam Brahma”
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.

“Eko Narayanad na dityo ‘sti kascit”
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya

“Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mangrwa”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.

Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini

B. Percaya Adanya Atman.

Atman adalah percikan kecil dari Paramatman (Hyang Widhi/ Brahman). Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan adalah laksana kusir dengan kereta. Kusir adalah Atman yang mengemudikan dan kereta adalah badan. Demikian Atman itu menghidupi sarwa prani (makhluk) di alam semesta ini “Angusthamatrah Purusa ntaratman Sada Jananam hrdaya samnivish thah Hrada mnisi manasbhiklrto Yaetad, viduramrtaste bhavanti. Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran, mereka yang mengetahuinya menjadi abadi.

C. Percaya adanya Hukum Karma Phala

Di dalam Weda disebutkan “Karma phala ngaran ika palaning gawe hala ayu” artinya karma phala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma. Karma phala dapat digolongkan menjadi tiga macam sesuai dengan saat dan kesempatan dalam menerima hasilnya, yaitu :

  1. Sancita Karma Phala : hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang.
  2. Prarabda Karma Phala: hasil perbuatan kita pada kehidupan saat ini tanpa ada sisanya lagi.
  3. Kriyamana Karma Phala: hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.

D. Percaya adanya Punarbhawa/ Reinkarnasi/ Samsara

Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa “Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian diikuti oleh kelahiran”.

Sribhagavan uvacha :
bahuni me vyatitani
janmani tava cha ‘rjuna
tani aham veda sarvani
na tvam vettha paramtapa.

Sri bhagawan (Tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak, Parantapa.

E. Percaya Adanya Moksa

Sebagaimana tujuan agama Hindu yang tersurat di dalam Weda, yakni “Moksartham jagadhitaya ca iti dharma”, maka moksa merupakan tujuan yang tertinggi. Moksa adalah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan terlepasnya Atman dari pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumber-Nya, yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadarn dan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut Sat Cit Ananda. Diambil dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu.

Pura Muncak Sari


pada waktu penyineban puja wali Ring Pura Muncak Sari.Pura Muncak Sari tertelak tepak di kaki gunung Batukaru.Suasana alam yang begitu sangat sakral"pingit"











Wednesday, November 4, 2009

Bali.Tri Hita Karana


Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang. Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali membuktikan perjalanan panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain.

Sebagaimana dengan wilayah lain di Nusantara, masa-masa awal kehidupan bermasyarakat di Bali dikelompokkan sebagai jaman pra sejarah. Pada masa pra sejarah ini tidak ditemukan catatan-catatan yang menggambarkan tatanan kehidupan bermasyarakat. Yang menjadi acuan adalah temuan berbagai peralatan yang dipergunakan sebagai sarana menopang kelangsungan hidup manusia Bali ketika itu.

Dari berbagai temuan masa pra sejarah itu, jaman pra sejarah Bali - sebagaimana dengan kebanyakan wilayah lain - meliputi tiga babak tingkatan budaya. Lapis pertama adalah masa kehidupan yang bertumpu pada budaya berburu. Secara alamiah, berburu adalah cara mempertahankan kelangsungan hidup yang amat jelas dan mudah dilakukan. Dengan alat-alat sederhana dari bahan batu, yang peninggalannya ditemukan di daerah Sembiran di Bali utara dan wilayah Batur, manusia Bali diperkirakan mampu bertahan hidup. Peninggalan peralatan sejenis yang lebih baik, dengan menggunakan bahan tulang, ditemukan pula di gua Selonding di daerah Bulit, Badung Selatan. Ini menunjukkan bahwa masa berburu melewati masa cukup panjang disertai dengan peningkatan pola pikir yang makin baik.

Masih berdasar pada temuan benda-benda purbakala, tergambar bahwa Bali mulai meninggalkan masa berburu dan masuk pada masa bercocok tanam. Kendati sudah memasuki tatanan hidup yang lebih terpola pada masa bertanam, kelompok manusia Bali pada masa itu dipastikan hidup secara berpindah. Berbagai peninggalan sejenis ditemukan sebagai temuan lepas di berbagai wilayah Bali barat, Bali utara, dan Bali selatan. Tatatan hidup dengan permukiman diyakini sebagai peralihan tatanan hidup manusia Bali dari jaman pra sejarah ke jaman sejarah. Peninggalan purbakala berupa nekara perunggu dan berbagai barang dari bahan logam di daerah Pejeng Gianyar, membuktikan bahwa kala itu telah terbentuk tatanan masyarakat yang lebih terstruktur.

Berbarengan dengan peralihan jaman pra sejarah ke jaman sejarah, pengaruh Hindu dari India yang masuk ke Indonesia diperkirakan memberi dorongan kuat pada lompatan budaya di Bali. Masa peralihan ini, yang lazim disebut sebagai masa Bali Kuno antara abad 8 hingga abad 13, dengan amat jelas mengalami perubahan lagi akibat pengaruh Majapahit yang berniat menyatukan Nusantara lewat Sumpah Palapa Gajah Mada di awal abad 13. Tatanan pemerintahan dan struktur masyarakat mengalami penyesuaian mengikuti pola pemerintahan Majapahit. Benturan budaya lokal Bali Kuno dan budaya Hindu Jawa dari Majapahit dalam bentuk penolakan penduduk Bali menimbulkan berbagai perlawanan di berbagai daerah di Bali. Secara perlahan dan pasti, dengan upaya penyesuaian dan percampuran kedua belah pihak, Bali berhasil menemukan pola budaya yang sesuai dengan pola pikir masyarakat dan keadaan alam Bali.

Model penyesuaian ini kiranya yang kemudian membentuk masyarakat dan budaya Bali yang diwarisi kini menjadi unik dan khas, menyerap unsur Hindu dan Jawa Majapahit namun kental dengan warna lokal.

Pola perkembangan budaya Bali di masa-masa berikutnya, jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan, secara alamiah mengikuti alur yang sama yaitu menerima pengaruh luar yang lebur ke dalam warna budaya lokal.

Thursday, October 22, 2009

Leak Bali



Aji Wegig berbicara tentang adat istiadat di Bali dikaitkan dengan arus modernisasi, masih tetap ajeg dan kuat berakar di hati sanubari masyarakat Bali.

Ilmu Hitam yang di kenal dengan istilah "Pengeleakan" di bali, adalah merupakan suatu ilmu yang diturunkan oleh Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala manifestasinya dalam fungsinya untuk memprelina (memusnahkan ) manusia di muka bumi.

Ratu Leak Calonarang Rangda Nateng Girah Di Bali Ilmu tersebut dikenal masyarakat luas sejak dulu, ilmu ini memang teramat sadis karena dapat membunuh manusia dalam waktu yang relatif singkat.

Ilmu Leak dapat juga menyebabkan manusia mati secara perlahan yang dapat menimbulkan penderitaan yang hebat dan berkepanjangan.

Dalam masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dikenal dengan istilah “Rua Bineda” yaitu Rua berarti dua dan Bineda berarti berbeda yang artinya ada dua yang selalu berbeda, seperti adanya siang dan malam, ada suka dan duka, ada hidup dan mati.

Demikian pula dengan ilmu ini ada ilmu yang beraliran kiri disebut Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan dan sebagai penangkalnya ada ilmu yang beraliran kanan atau Ilmu Putih.

Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan, tergolong "Aji Wegig" yaitu aji berarti ilmu, wegig berarti begig yaitu suatu sifat yang suka menggangu orang lain.

Karena sifatnya negative, maka ilmu ini sering disebut "Ngiwa".
Ngiwa asal katanya kiwa (Bahasa Bali) artinya kiri.
Ngiwa berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri.

Ilmu leak ini bisa dipelajari pada lontar – lontar yang memuat serangkaian Ilmu Hitam.

Lontar –lontar artinya buku – buku jaman kuno yang terbuat dari daun pohon lontar yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran panjang 30 cm dan lebar 3 cm, diatas lontar diisi tulisan aksara Bali dengan bahasa yang sangat sakral.

Pada jaman Raja Airlangga yang berkuasa di Kerajaan Kediri yaitu pada abad ke-14 ada seorang Ibu yang menguasai Ilmu Pengleakan yang bernama Ibu Calonarang. Pada waktu Ibu Calonarang masih hidup pernah menulis buku lontar Ilmu Pengleakan empat buah yaitu :

Lontar Cambra Berag, Lontar Sampian Emas, Lontar Tanting Emas, Lontar Jung Biru.

Calonarang adalah nama julukan seorang perempuan yang bernama Dayu Datu dari Desa Girah yaitu Desa pesisir termasuk wilayah Kerajaan Kediri.

Calonarang berstatus Janda sehingga sering disebut Rangda Nateng Girah yaitu Rangda artinya Janda atau dalam bahasa Bali disebut balu, Nateng artinya Raja (Penguasa). Girah adalah nama suatu desa. Jadi ‘’Rangda Nateng Girah’’ artinya Janda Penguasa desa Girah.

Calonarang adalah Ratu Leak yang sangat sakti, pada jaman itu bisa membuat wilayah Kerajaan Kediri Gerubug (wabah) yang dapat mematikan rakyatnya dalam waktu singkat, yaitu pada wilayah pesisir termasuk wilayah desa Girah.

Kisah ceritanya adalah sebagai berikut :

Di Kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Airlangga yaitu didesa Girah ada sebuah Perguruan Ilmu Hitam atau Ilmu Pengeleakan yang dipimpin oleh seorang janda yang bernama Ibu Calonarang (nama julukan dari Dayu Datu).

Murid – muridnya semua perempuan dan diantaranya ada empat murid yang ilmunya sudah tergolong tingkat senior antara lain : Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi Lendi, Nyi Sedaksa.

Ilmu leak ini ada tingkatan – tingkatannya yaitu :

1. Ilmu Leak Tingkat Bawah yaitu orang yang bisa ngeleak tersebut bisa merubah wujudnya menjadi binatang seperti monyet, anjing, ayam putih, kambing, babi betina (bangkung) dan lain – lain.

2. Ilmu Leak Tingkat Menengah yaitu orang yang bisa ngeleak pada tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Burung Garuda bisa terbang tinggi, paruh dan cakarnya berbisa, matanya bisa keluar api, juga bisa berubah wujud menjadi Jaka Tungul atau pohon enau tanpa daun yang batangnya bisa mengeluarkan api dan bau busuk yang beracun.

3. Ilmu Leak Tingkat Tinggi yaitu orang yang bisa ngeleak tingkat ini sudah bisa merubah wujudnya menjadi Bade yaitu berupa menara pengusungan jenasah bertingkat dua puluh satu atau tumpang selikur dalam bahasa Bali dan seluruh tubuh menara tersebut berisi api yang menjalar – jalar sehingga apa saja yang kena sasarannya bisa hangus menjadi abu.

Ibu Calonarang Terhina

Ibu Calonarang juga mempunyai anak kandung seorang putri yang bernama Diah Ratna Mengali, berparas cantik jelita, tetapi putrinya tidak ada satupun pemuda yang melamarnya.

Karena Diah Ratna Mangali diduga bisa ngelelak, dengan di dasarkan pada hukum keturunan yaitu kalau Ibunya bisa ngeleak maka anaknyapun mewarisi ilmu leak itu, begitulah pengaduan dari Nyi Larung yaitu salah satu muridnya yang paling dipercaya oleh Ibu Calonarang.

Mendengar pengaduan tersebut, tampak nafas Ibu Calonarang mulai meningkat, pandangan matanya berubah seolah-olah menahan panas hatinya yang membara. Pengaduan tersebut telah membakar darah Ibu Calonarang dan mendidih, terasa muncrat dan tumpah ke otak. Penampilannya yang tadinya tenang, dingin dan sejuk, seketika berubah menjadi panas, gelisah. Kalau diibaratkan Sang Hyang Wisnu berubah menjadi Sang Hyang Brahma, air berubah menjadi api. Tak kuasa Ibu Calonarang menahan amarahnya. Tak kuat tubuhnya yang sudah tua tersebut menahan gempuran fitnah yang telah ditebar oleh masyarakat Kerajaan Kediri.

Ibu Calonarang sangat sedih bercampur berang, sedih karena khawatir putrinya bakal jadi perawan tua, itu berarti keturunannya akan putus dan tidak bisa pula menggendong cucu, berang karena putrinya dituduh bisa ngeleak.

Ibu Calonarang berkata kepada Nyi Larung : “Hai Nyi Larung, penghinaan ini bagaikan air kencing dan kotoran ke wajah dan kepalaku. Aku akan membalas semua ini, rakyat Kediri akan hancur lebur, dan luluh lantak dalam sekejap. Semua orang-orangnya akan mati mendadak. Laki-laki, perempuan, tua muda, semuanya akan menanggung akibat dari fitnah dan penghinaan ini. Kalau tidak tercapai apa yang aku katakan ini, maka lebih baik aku mati, percuma jadi manusia. Kalau Ibu Calonarang ini tidak melakukan balas dendam maka hati ini tidak akan merasa tentram”.

Demikian kata-kata Ibu Calonarang yang sangat mengerikan kalau seandainya hal ini menjadi kenyataan. Nyi Larung kemudian menyahut dan bertanya “Kalau demikian niat Guru, bagaimana kita bisa melakukan hal tersebut”. segera dijawab oleh Ibu Calonarang. “Kau Nyi Larung, ketahuilah, jangan terlalu khawatir akan segala kemampuanku. Aku Ibu Calonarang bukanlah orang sembarangan dan murahan. Kalau tidak yakin dengan diri, maka aku tidak akan sesumbar begitu. Biar mereka tersebut merasakan akibat dari segala perbuatan yang telah mereka lakukan terhadap anakku.

Kau Nyi Larung, Ibu minta agar kau mengumpulkan semua murid-muridku supaya segera masuk ke Pasraman Pengeleakan. “Tunggu sampai tengah malam nanti. Aku akan menurunkan segala ilmu kewisesan yang aku miliki kepada kalian semua. Karena sekarang hari masih terang dan sore, lebih baik engkau semua melakukan pekerjaan seperti biasanya. Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya. Nanti malam kita akan berkumpul lagi membicarakan masalah tersebut, dan ingat tidak ada yang boleh tahu mengenai apa yang kita akan lakukan ini, kita akan membuat Kerajaan Kediri gerubung yaitu berupa serangan wabah penyakit yang sulit diobati yang dapat mematikan rakyatnya dalam waktu singkat. Demikian Ibu Calonarang menutup pembicaraannya pada sore hari tersebut, dan semua kembali melakukan kegiatan sebagaimana mestinya.

Gerubug Di Kerajaan Kediri

Tuesday, October 20, 2009

Agama Hindu


Pendidikan agama Hindu

perlu kita tamankan dan ajarkan sejak dini untuk anak-anak.

Disamping pendidikan agama secara teori,sangat penting juga

mendidik langsung dengan melatih sembahyang di Merajan atau

di tempat-tempat suci lainya.

Agar pada nantinya genarasi muda Hindu lebih mencintai dan memahami

dengan agamanya sendiri yaitu Agama Hindu.Karena Agama Hindu sangat

luwes.Dengan konsep-konsep dasar agama Hindu hendaknya

generasi penerus

dapat mencintai alam,sesama dan Ida Sanghyang Whidi Wasa.

Sudah saatnya kita sakralkan dan lestarikan budaya dan kebudayaan Hindu

khususnya Hindu Bali Indonesia.

Perlu juga kita pikirkan dan renungkan...

Mengajarkan bahasa Bali yang juga bahasa ibu untuk anak-anak kita.

Agar pada nantinya bahasa Bali tidak menjadi sejarah.

Perlu kita tanamkan sejak dini agar generasi penerus Bali

bangga memiliki bahasa Bali.( Lihat Yang Lain )

Monday, October 12, 2009

Hari Raya Galungan


Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Tuesday, October 6, 2009

Peduli sesama

Sebagaimana diketahui bersama, gemba tanggal 30 September 2009 di wilayah Sumatra Barat telah menimbulkan 700 lebih korban orang dengan 200 orang diantaranya meninggal dunia. Gempa juga menimbulkan kerugian material yang tidak sedikit, dengan rusaknya ratusan rumah penduduk dan fasilitas umum lainnya.

Untuk meringankan beban para korban dan sebagai bentuk solidaritas dan keperdulian pada rekan sebangsa, Kami menerima bantuan dan uluran tangan anda untuk saudara-saudara kita di Sumatera Barat dalam bentuk uang.

Nama bank: Bank BCA
Cabang: BCA KCP Tabanan
Nama rekening: Eka Nadiwiartha I Pt
Nomor rekening: 1420-219-195

Tuesday, September 29, 2009

Pengendalian Tri Kaya Parisuda

Sangat menarik untuk disimak dharma wacana seorang sulinggih di depan siswa setingkat SMP yang materinya mengaitkan pengendalian tri kaya (pikiran, perkataan dan perbuatan) dalam hubungan hukum karma.
Dijelaskan ada 12 bentuk pengendalian tri kaya yang bila dirinci masing-masing menjadi 3 hal untuk manah (pikiran), 4 hal untuk wacika (perkataan) dan 3 hal lagi untuk kayika (perbuatan). Seperti misalnya pikiran dengki/irihati, kata-kata kasar dan memfitnah, dan perbuatan tidak senonoh seperti berzinah atau berselingkuh. Semua perilaku ini baik atau buruk tidak terlepas dari hukum karma.

Dikutip isi kitab suci Rig Weda tentang sanksi terhadap pelanggaran moral ini yang tidak bisa dibersihkan atau dicuci dengan cara apa pun, khususnya menyangkut perselingkuhan. Dikatakan bila kelak menitis kembali akan menjadi makhluk yang paling rendah derajatnya.

Ketika disinggung perilaku pacaran di usia yang sangat muda, risikonya kelak bila terlahir kembali akan lahir muda yang belum waktunya. Pada saat itu muncul reaksi suara bergumam dari para anak muda itu, suatu sikap spontan yang seharusnya tidak keluar sekiranya anak-anak itu tahu sesana Hindu di hadapan seorang sulinggih. Sampai beliau berujar, sekiranya apa yang disampaikan itu bohong, berarti kitab suci atau lontar suci itu bohong.

Mungkin konotasi perselingkuhan ini rancu dengan istilah kencan yang oleh beliau disebut pacaran. Padahal ucapan beliau itu benar apabila dibahas dari aspek ilmiah, baik dari ilmu kedokteran maupun ilmu psikologi, bagaimana dampaknya perilaku suami istri pada usia sangat muda atau sering disebut di bawah umur. Dari sudut hukum perkawinan pun dilarang, ada batasan usia 19 tahun.

Timbul pertanyaan, bagaimana pendidikan agama Hindu di tingkat sekolah, khusus aspek etika susila ataupun sesana di hadapan orang yang patut kita hormati, seperti kepada orangtua apalagi di hadapan sulinggih. Dari sudut karmaphala memang demikianlah bunyinya, karena karmaphala berfungsi pencegahan. Dari sisi lain, apabila dosa-dosa yang mahabesar itu telanjur telah diperbuat, ajaran agama Hindu yang sangat universal memberikan suatu terapi, dengan syarat pertobatan lahir batin dengan melakukan tapa brata yoga semadi seperti yang diungkap oleh ajaran Siwaratri.


Sumber :
http://www.hindu-indonesia.com

Tuesday, September 22, 2009

Menuju Puncak Batukaru





























Untuk mencapai Puncak Gunung Batu Karu dapat kita tempuh lewat
Jalan Pujungan.Pupuan.Karena dengan melalui jalan ini jalan cukup luas dan
tidak terlalu menanjak.Untuk mencapai puncak dapat kita tempuh kurang
lebih dengan waktu 3-5 jam perjalanan.Didalam perjalanan kita akan disuguhkan
dengan panorama alam yang sangat luar.Dengan pohon2 besar dan lebat
yang tentunya masi sangat alami yang patut kita jaga untuk anak cucu kita nantinya.
Dan setelah sampai dipuncak lagi ,kita akan disuguhkan panorana yang maha luar biasa.

Suasana di Puncak Gunung Batu Karu memanglah lumayang dingin,baik
siang apalagi pada malam harinya.Tapi semua itu akan terbayar
disaat senja dan pagi harinya.Dikala dingin telah usai menusuk tulang,
Kita akan disuguhkan panorama alam yang sangat luar biasa..
Keindahan dari anugrah Tuhan yang Maha Kuasa,sulit aku katakan dengan
kata2,
Puncak BatuKaru,puncak nirwana. ( Liat Gambar lain )

Tuesday, September 15, 2009

Rambut Sedana


PIODALAN RAMBUT SEDANA.
Hari ini jatuh pada Sukra Umanis Merakih,Sanghyang Rambut Sedana juga disebut Dewa Harta Benda.Upakaranya terdiri dari : suci,daksina,peras,penek ajuman,sasodaan putih kuning.Persembahan kepada barang harta benda seperti : emas,manik,uang,dan barang-barang mulya lainnya sebagai pralingga Sanghyang Rambut Sedana.

Hari Raya Siwaratri


1.SHIWARATRI.

Hari raya Shiwaratri jatuh pada purwaning tilem sasih kapitu(panglon ping 4 sasih kapitu).Shiwaratri artinya malam Shiwa yakni malam dimana Yhang Shiwa sedang beryoga semadi untuk kesejahtraan dunia.Pada malam ini umat Hindu diwajibkan melaksanakan sambang,yoga dan semadhi.Sambang yang artinya jagra atau begadang.Yoga artinya mengadakan hubungan dengan Yhang Shiwa.Semadhi artinya menyatukan diri dengan Ida Sanghyang Whidi Wasa.Dengan melaksanakan hal itu,umat diyakini akan mendapatkan anugrah dari Shiwa berupa peleburan dosa.

Landasan Shiwaratri ini yaitu kekawin Shiwaratri Kalpa atau kekawin Lubdaka.Kekawin ini ditulis oleh Mpu Tanakung yang bersumber dari Padma Purana.
Untuk melaksanakan hari suci ini hendaknya melaksanakan brata antara lain :
a.Tidak tidur selama 36 jam,dari matahari terbit sampai dengan matahari terbenam keesokan harinya.
b.Upawasa yaitu tidak makan selama 24 jam
c.Semedhi yang dilakukan pada malam harinya.

Pada kekawin Shiwaratri Kalpa disarankan pada malam hari tersebut melaksanakan kegiatan-kegiatan agar tidak mengantuk yaitu kegiatan berupa :
a.Mengadakan bunyi-bunyian ( mredangga )
b.Mekidung/mekekawin
c.Mendengarkan cerita Lubdaka.
Sedangkan orang yang telah meningkatkan spiritualnya hendaknya menambah bratanya dengan mona brata pada malam harinya selama 24 jam.

Jenis-jenis upakara yang diperlukan dalam melaksanakan pemujaan ini antara lain berupa bunga yang harum-harum,menir,kanyeri,gambir,arja,,kacubung,wanduri putih,putat,asoka,nagapuspa,tenguli,bekula kalak,cempaka,tunjung biru,tunjung merah,tunjung putih,majar-majar,sulasih.Bunga-bunga tersebut hendaknya dilengkapi dengan madu,bubur susu,bubur gula liwet yang dicampur dengan hati wilis
( santan ),persembahan ini juga mestinya dilengkapi dengan pana pana matsyaka ( daun bila ).

Dalam prakteknya di Bali upakara yang diperlukan adalah upasaksi ke Surya dengan canang ajuman atau pejati.
a.Disanggah kamulan mempersembahkan tapakan palinggih pasucian ,rayunan putih kuning,ajuman dan panca lingga yang dilengkapi dengan daun bila.
b.Sarana pamuspan untuk 3 kali,mulai malam ,tengah malam,menjelang matahari terbit.

Adapun urutan upacaranya sebagai berikut :
a.Pagi-pagi benar pada panglon ping 14,sisya harus menghadap Shiwa untuk menyatakan niatnya untuk melaksanakan brata Shiwaratri.
b.Setelah mendapat anugrah dari guru ( nabe )sisya mulai mandi dan keramas untuk menyucikan diri.
c.Usai mandi melaksanakan pemujaan terhadap Sangyang Shiwa.
d.Usai pemujaan bari melaksanakan upawasa dan mona brata.
e.Pada malam harinya melakukan sambaing atau tidak tidur dan melakukan yoga Samadhi kehadapan Shiwa,Dewa Kumara,dan Ganesha dengan sarana diatas.
f.Keesokan harinya pada pagi hari harus melaksanakan asuci laksana dan menghadap guru nabe untuk mohon tirta dan brata sambaing dilanjutkan sampai menjelang malam.

Kautamaan Brata Shiwaratri.
Shiwaratri atau malam Shiwa yang lebih dikenal dengan malam peleburan dosa.Karena barang siapa diwaktu malam tersebut dapat melaksanakan brata shiwaratri akan mendapat anugrah Shiwa berupa peleburan dosa.Sehina-hinanya manusia,bilamana pada malam tersebut dapat melakukan brata maka dosa-dosanya akan dilebur dan kelak bila meninggal rohnya akan mendapat tempat di Shiwaloka,seperti halnya Lubdaka.Lubdaka adalah seorang pemburu yang suatu kebetulan ketika malam Shiwaratri melakukan brata tidak tidur dan dengan tidak sengaja mempersembahkan daun bila kepada Shiwa.

Tri Hita Karana


Melalui Tri Hita Karana hendaknya kehidupan ini akan terasa lebih indah,
Tanpa kita pernah sadar,konsep hidup dengan Tri Hita Karana pada saat ini
sudah mulai dilupakan.

1.Hubungan manusia dengan Tuhan.
Mungkin kita bisa menghitung dengan jari dalam satu bulan
brapa kali kita sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atau pernahkah kita ingat akan ajaran-ajaran agama didalam
menjalani hari...?
Sudah saatnya kita mulai sadar,Demi terujudnya kehidupan
yang indah damai,mulai saat ini kita tingkatkan
nilai sepiritual kita untuk menjalankan Dharma,sujud
bakti kita kepada Yang Maha Kuasa hendaknya kita lakukan dengan
tulus dan iklas.Mohon kepada yang maha kuasa akar selalu dituntung
sesuai dengan ajaran Dhrama untuk menuju kebahagiaan.
Dan jangan pernah dilupakan semua yang ada di Bumi ioni adalah Kuasa
Dari Tuhan Yang Maha Esa.

2.Hubungan Manusia dengan manusia.
Dijaman Kali Yuga saat ini,mungkin jarang kita dapatkan lagi
manusia yang mau mengerti akan sesama.Keangkuhan,ke Ego an telah menguasai
manusia saat ini.
Pernahkah kita ingat dan menyadari"aku adalah kamu,kamu adalah aku"...?
Luangkan waktu kita sejenak untuk merenung apa yang telah kita
lakukan untuk sesama kita...!

3.Hubungan manusia dengan alam.
Hutan,tentunya kita semua sudah tahu,setiap hari,setiap bulan,dan setiap tahun
hutan kita selalu bertambah kerusakannya.
Alam yang terus mengalami kehancuran ditengah keserakahan manusia.
Sebelum alam mulai murka,hendaknya kita mulai dari saat ini.
Lestarikan alam,jaga dan rawat alam ini seperti kita merawat diri kita sendiri.
Lakukan yang terbaik untuk alam ini.
Atau renungkan diri kita sejenak,apa yang telah pernah kita lakukan untuk alam ini...?

Pendek kata "Melalui konsep hidup Tri Hita Karana "
Kita wujudkan kehidupan yang lebih bahagia.

Renungkan...!

Friday, September 11, 2009

Pura Punca Mangu

Pagi hari ini begitu membuka mata,,,waduuh kakiku kaku, terasa sakit bangeeet? rupanya keletihan dan kelelahanku yg kemarin belum pupus. Bukankah aku mendaki kemarin (ehhmm biang keroknya...)...tpi bukan untuk tujuan mendaki beneran melainkan melakukan persembahyangan ke Puncak Mangu. Pura Puncak Mangu adalah Pura Kahyangan Jagat dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan kepada Tuhan yang melindungi empat penjuru Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu di arah utara, arah selatan Pura Andakasa, arah timur Pura Lempuyang Luhur dan arah barat Pura Luhur Batukaru. Demikian dinyatakan dalam Lontar Usada Bali. Pada zaman dulu puncak gunung ini sudah menjadi pusat pemujaan terhadap Dewa Siwa. Di Pura ini umumnya umat memohon kerahayuan dan kemakmuran jagat.

Tri Hita Karana


Melalui Tri Hita Karana hendaknya kehidupan ini akan terasa lebih indah,
Tanpa kita pernah sadar,konsep hidup dengan Tri Hita Karana pada saat ini
sudah mulai dilupakan.

1.Hubungan manusia dengan Tuhan.
Mungkin kita bisa menghitung dengan jari dalam satu bulan
brapa kali kita sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atau pernahkah kita ingat akan ajaran-ajaran agama didalam
menjalani hari...?
Sudah saatnya kita mulai sadar,Demi terujudnya kehidupan
yang indah damai,mulai saat ini kita tingkatkan
nilai sepiritual kita untuk menjalankan Dharma,sujud
bakti kita kepada Yang Maha Kuasa hendaknya kita lakukan dengan
tulus dan iklas.Mohon kepada yang maha kuasa akar selalu dituntung
sesuai dengan ajaran Dhrama untuk menuju kebahagiaan.
Dan jangan pernah dilupakan semua yang ada di Bumi ioni adalah Kuasa
Dari Tuhan Yang Maha Esa.

2.Hubungan Manusia dengan manusia.
Dijaman Kali Yuga saat ini,mungkin jarang kita dapatkan lagi
manusia yang mau mengerti akan sesama.Keangkuhan,ke Ego an telah menguasai
manusia saat ini.
Pernahkah kita ingat dan menyadari"aku adalah kamu,kamu adalah aku"...?
Luangkan waktu kita sejenak untuk merenung apa yang telah kita
lakukan untuk sesama kita...!

3.Hubungan manusia dengan alam.
Hutan,tentunya kita semua sudah tahu,setiap hari,setiap bulan,dan setiap tahun
hutan kita selalu bertambah kerusakannya.
Alam yang terus mengalami kehancuran ditengah keserakahan manusia.
Sebelum alam mulai murka,hendaknya kita mulai dari saat ini.
Lestarikan alam,jaga dan rawat alam ini seperti kita merawat diri kita sendiri.
Lakukan yang terbaik untuk alam ini.
Atau renungkan diri kita sejenak,apa yang telah pernah kita lakukan untuk alam ini...?

Pendek kata "Melalui konsep hidup Tri Hita Karana "
Kita wujudkan kehidupan yang lebih bahagia.

Renungkan...!

Monday, September 7, 2009

Pura Luhur Srijong



Bermula dari Sebuah Cahaya

Pura Luhur Serijong terletak di Banjar Payan, Desa Pakraman Batu Lumbang, Antap Selemadeg. Pura ini berlokasi sekitar 15 km dari Tabanan arah barat atau 45 km dari Denpasar. Aura religius sangat dirasakan ketika memasuki areal pura yang terletak di tepi pantai ini. Pura Serijong merupakan salah satu pura di Bali yang letaknya di tepi laut yang salah satu wujud pemujaannya adalah Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan (Ida Batara Segara). Bagaimana sejarah pura tersebut? Makna apa yang bisa dipetik di balik bangunan suci itu?

PENDIRIAN Pura Serijong ini juga memiliki sejarah yang unik. Di mana pada zaman lampau masyarakat sekitar yang kala itu sebagian besar tinggal di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani melihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai yang berbatu karang. Di sekitar cahaya itu, dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di tempat itu yang merupakan batu karang dibangunlah sebuah pura oleh masyarakat sekitar dan diberi nama Pura Luhur Serijong. Maka sangat pantaslah pura yang masih terkait dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra ini berfungsi sebagai penerang, pemberi pengetahuan bagi umat manusia.

Pura Luhur Serijong menurut beberapa catatan dibangun hampir bersamaan dengan Pura Rambut Siwi di Jembrana dan Pura Tanah Lot yakni pada abad XVI Masehi yang masih berkaitan dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.

Sebanyak 24 desa pakraman yang terdiri atas ribuan umat Hindu di sekitarnya menjadi penyungsung dari pura ini sejak turun-temurun. Buda Umanis Prangbakat merupakan piodalan di pura ini yang sangat ditunggu-tunggu oleh krama. Bukan hanya dari daerah Selemadeg, umat dari berbagai wilayah di Bali kerap pedek tangkil ke pura ini. Beberapa pelinggih yang ada di utama mandala pura ini yakni Meru Tumpang Tiga sebagai wahana pemujaan Ida Dang Hyang Dwijendra, Pelinggih Ida Batara Segara, Padmasana, Pelinggih Pasimpangan Rambut Siwi, Pelinggih Ida Batara Rambut Sedana, Pelinggih Taksu Agung dan Pengeruak.

Secara filosofis, selain berupa pemujaan Tuhan dalam wujud cahaya (sinar) pada mulanya, pura ini juga sebagai pemujaan Dang Hyang Dwijendra yang merupakan guru yang sangat berjasa di Bali dan mampu memberikan penerangan. Pemujaan Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan yang dalam Hindu dikenal dengan Dewa Baruna juga menjadi objek pemujaan di pura ini. Selain itu, adanya Pasimpangan Ida Batara Rambut Sedana sebagai sarana untuk memohon berkah dan kerahayuan. Keheningan dan kesejukan membuat pura ini cocok untuk melakukan pemujaan serta meditasi memuja keagungan-Nya.

Pemangku Gede Pura Serijong I Made Suada menuturkan, ada beberapa versi yang berkembang berkenaan dengan keberadaan Pura Luhur Serijong ini. Tetapi secara umum yang paling diterima oleh masyarakat adalah awal pendirian pura ini pada zaman dahulu ketika masyarakat sekitar melihat sinar terang di tepi laut yang berbatu karang tersebut. Diketahui sebagai suatu pertanda baik, maka di tempat ini didirikanlah pura.

Selain itu dalam perjalanannya, Dang Hyang Dwijendra ketika berkeliling Bali menyebarkan ajaran dharma untuk menata umat beragama di Bali, sempat singgah dan melakukan pemujaan di tempat ini. Masyarakat sekitar sangat terkesan dengan aura kepanditaan beliau, sehingga diputuskan untuk membangun pelinggih sebagai sarana memuja beliau sebagai guru bagi umat manusia.

Hingga kini beliau dipuja pada pelinggih utama berupa Meru Tumpang Telu. Sinar terang pengetahuan, wujud bakti kepada Ida Batara Segara, memohon kerahayuan dan hormat pada guru adalah ciri khas dari pura ini.
Beberapa kali, kata Suada, dilakukan rehab atas pura ini, di antaranya rehab besar dilakukan tahun 1949-1950 dan dilakukan upacara ngenteg linggih tahun 1952. Tahun 1996-2003 pengempon pura kembali melakukan rehab dan dilakukan upacara ngenteg linggih serta mamungkah tahun 2003 lalu. Puri Agung Tabanan merupakan pangrajeg dari pura ini, sementara panganceng adalah Jero Subamia.

Segala aktivitas, baik pembangunan fisik maupun upacara tidak terlepas dari peran Puri Tabanan dan Jero Subamia. Bahkan, penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana yang juga Wakil Bupati Tabanan turut aktif mengkoordinir pembangunan beberapa fasilitas pelengkap dari pura ini. Walau keberadaan pura ini cukup aman, namun abrasi selalu terjadi pada areal tepian pantai akibat besarnya gelombang.

Beruntung telah ada beberapa bantuan yang sangat membantu dalam pengamanan pantai dengan tanggul panjang 80 meter dan pemecah gelombang. Abrasi juga mengikis beberapa situs dan peninggalan penting yang terdapat di sekitar areal ini, oleh karena itu perlu mendapat penanganan sebagai langkah penyelamatan.

Selain peninggalan purbakala yang terdapat pada beberapa lokasi, pemangku setempat menyatakan juga terdapat beberapa peninggalan kuno yang berupa arca yang disucikan.


''Payuk'' Kebo Iwa

Areal lain yang masih menjadi satu areal dengan keberadaan pura ini adalah kawasan disucikan yang menurut legenda dan kepercayaan masyarakat setempat merupakan situs peninggalan Kebo Iwa, patih Bali yang sangat termashyur. Di sana terdapat sebuah batu karang dikelilingi pasir dan air laut, berukuran kurang lebih 3 meter, disebut Payuk Kebo Iwa.
Payuk berarti periuk, yang dipercaya milik Kebo Iwo. Di sebelah baratnya, di samping Pura Luhur Serijong, terdapat batu karang yang persis seperti dapur penduduk asli, berukuran lebih kurang 1 x 20 meter. Di sanalah Kebo Iwa diyakini memasak dengan mempergunakan periuknya tersebut.
Di pantai Payan juga bisa dilihat berbagai peninggalan Kebo Iwa yang legendaris. Misalnya dapur, meja, tempat air, tempat duduk, sisa-sisa nasi dan tempatnya bertapa seperti sebuah batu pipih yang sangat halus. Lokasinya di sebelah selatan pura, di kaki jurang yang dalam dan terjal. Peninggalan-peninggalan itu sekarang sudah membatu, untuk melihatnya harus menunggu air laut surut.

Di pantai Payan ini terdapat sebelas kelebutan (mata-air) air tawar warna-warni yang dipercaya bisa membuat awet muda. Juga terdapat pasiraman toya leh yang diyakini tempat permandian Kebo Iwa ketika melakukan misi pengamanan laut.

Di bawah pura terdapat goa yang besar dan dalam. Ujungnya tepat berada di bawah Meru Tumpang Telu. Di ujung goa, terdapat batu menyerupai Padmasana, sthana Ida Sang Hyang Widhi. Goa ini berukuran panjang sekitar 40 meter, jauh menjorok ke dalam, lebar 17 meter serta dengan ketinggian sekitar 10 meter pada bibir goa. Goa ini dihuni oleh kelelawar yang keberadaannya tidak pernah diganggu manusia.

Menurut keterangan pemangku setempat, kelelawar di goa ini berjumlah puluhan ribu yang terdiri atas tiga jenis yang dalam bahasa Bali dikenal dengan jempiit, lelawah dan balongan. Pada hari-hari tertentu, kelelawar ini keluar dan melakukan perjalanan hingga menimbulkan barisan yang sangat panjang.

Di tepi goa ini terdapat Pelinggih Biang Sakti dan terdapat beberapa mata air yang dianggap suci. Namun karena ada aktivitas pembuatan tanggul, beberapa mata air sulit untuk ditemukan kembali. Konon, di situlah dulu Kebo Iwa melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing. Pada waktu-waktu tertentu kedua pengawal itu menampakkan diri. Kawasan yang luasnya beberapa kilometer ini merupakan areal yang dijaga kesucian dan kelestariannya. Bukan hanya karena adanya legenda Kebo Iwa, tetapi diyakini bukan merupakan kawasan sembarangan, sehingga tidak ada fasilitas pariwisata yang dibangun berdekatan dengan areal ini.

Klik to Info :