Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Free Website Hosting

Sunday, December 6, 2009

Catur Asrama

CATUR ASRAMA home

Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu : Brahmacari, Grhastha, Vanaprastha, dan Bhiksuka. Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
Brahmacari
Brahmacari adalah masa belajar, masa menuntut ilmu/pendidikan. Brahmacari dalam arti sempit adalah masa belajar secara formal misalnya belajar sejak TK sampai perguruan tinggi. Brahmacari dalam arti yang lebih luas, adalah upaya meningkatkan pengetahuan dengan berbagai cara (formal dan informal) yang berlangsung sepanjang masa kehidupan karena sebenarnya proses belajar-mengajar berlangsung tiada henti. Brahmacari dalam arti khusus ada dua yaitu :
1) Brahmacari dalam kaitan masa aguron-guron (belajar agama/spiritual) seorang sisya (siswa) kepada Nabe (guruspiritual) dimana Nabe tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik dan melatih, dan
2) Brahmacari dalam arti menjauhkan diri dari keinginan sex atau tidak kawin/nikah selama hidup. Yang terakhir ini disebut sebagai sukhla brahmacari. Pentingnya Brahmacari Ashrama, disebutkan dalam Atharvaveda sebagai berikut :

Brahmacaryena tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate (XI.5.17). Sa dadhara prthivim divam ca (XI.5.1). Tasmin devah sammanaso bha vanti (XI.5.1)

Artinya :
Seorang pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan seorang guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang yang sempurna; Seseorang yang melaksanka brahmacari akan menjadi penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi) bersemayam pada diri seorang brahmacari.

Dari kutipan Veda itu jelaslah kiranya bahwa kewajiban manusia yang utama dan yang pertama dilakukan adalah menuntut ilmu atau belajar dan berpendidikan, karena dari pendidikan/pengajaranlah pikiran dikembangkan untuk menuju kepada Catur purushaarta seperti yang telah dikemukakan dalam uraian tentang catur purushaarta terdahulu. Pelajaran dan pendidikan juga akan membangun kemampuan berpikir untuk memilah antara dharma (perbuatan baik) dan adharma (perbuatan tidak baik) sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup.
Kitab suci Sarasamusccaya 2 :
Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesvevavakarayet.

Artinya :
Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik segala yang buruk itu; demikianlah pahalanya menjadi manusia.
Dalam Upanisad disebutkan pula bahwa arti kata Manusah adalah : Manu = kebijaksanaan, sah = mempunyai. Jadi manusia adalah mahluk yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia yaitu Sabda (kemampuan berbicara), Bayu (kemampuan bergerak) dan Idep (kemampuan berpikir). "Idep" yang dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan akan menjadikan manusia itu lebih bijaksana sehingga disebut sebagai manusia yang sempurna. Mahluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja yaitu kemampuan bergerak (bayu) dan kemampuan bersuara (sabda). Binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir (idep) oleh karena itu binatang beraktivitas berdasarkan naluri, tidak berdasarkan pikiran. Tumbuh-tumbuhan hanya mempunyai kemampuan tumbuh (bayu) saja, tidak mempunyai sabda dan idep.Selanjutnya Sarasamusccaya menyatakan bahwa kita wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi manusia, mahluk yang utama, karena itu gunakanlah kesempatan hidup yang sempit ini dengan sebaik-baiknya, kesempatan mana sungguh sangat sulit diperoleh; lakukanlah segala sesuatu yang baik (melalui brahmacari) yang mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan, gunakanlah kesempatan ini untuk mencapai moksa/sorga. "Paramarthanya, pengpengen ta pwa katemwaniking si dadi wwang, durlabha wi ya ta, saksat handaning mara ring swarga ika, sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena"
Grahasta



Grahasta home

Grhastha adalah masa berumah tangga, masa menikah dan mengembangkan keturunan. Dalam menempuh ashrama yang kedua ini diupayakan terwujudnya rumah tangga/keluarga yang bahagia. Kebahagiaan ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/perumahan, semuanya disebut artha. Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi yang disebut dharma, dan unsur non material lainnya : pendidikan, sex, kasih sayang antara suami - istri - anak, mempunyai keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat yang semuanya disebut kama. Berkeluarga mempunyai arti dan kedudukan khusus dalam kehidupan manusia karena melalui pernikahan lahirlah anak-anak yang disebut putra.
Kata putra terdiri dari dua pokok kata yaitu "PUT" artinya neraka, dan "RA" artinya menyelamatkan. Jadi putra adalah anak yang menyelamatkan orang tuanya dari neraka.Disebut demikian karena anaklah yang merawat orang tuanya ketika mereka secara phisik dan mental sudah tua dan kurang mampu mengurus diri sendiri. Disamping itu sesuai dengan tradisi beragama Hindu di Bali, anak mempunyai kewajiban melaksanakan upacara pitra yadnya bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia, dengan tujuan agar roh/atma-nya terbebas dari ikatan Panca Mahabutha dan Panca Tanmatra.
Cinta kasih dalam hubungan anak orang tua berlangsung timbal balik; sejak anak masih dalam kandungan ibu sampai dewasa dan mandiri, orang tualah yang berkewajiban mengurus dan setelah anak memasuki grhastha ashrama, anaklah yang wajib mengurus orang tuanya. Hidup berkeluarga diawali dengan "pawiwahan" maka oleh karena itu pawiwahan dalam Manawa Dharmasastra disebut sebagai "Dharmasampati" artinya pelaksanaan dharma. Kebalikannya dan yang tergolong adharma adalah perceraian.
Agar terwujud keluarga yang bahagia, Manawa Dharmasastra Buku ke-3 (Tritiyo dhyayah) mengatur sejak cara melaksanakan pawiwahan sampai cara membina keluarga bahagia.
Beberapa sloka yang penting antara lain :
21 : Brahmo daivastathaivarsah, prayapatyastathasurah, gandharva raksasascaiva, paisacasca astamo dharmah (delapan cara pawiwahan adalah : brahma, daiwa, rsi, prajapati, asura, gandharwa, raksasa dan pisaca).
Dari delapan cara pawiwahan itu ada tiga cara yang dewasa ini sudah tidak sesuai karena melanggar hukum yaitu : asura, raksasa dan paisaca. Sedangkan diantara lima cara sisanya, yang paling populer adalah prajapatya yaitu pawiwahan atas dasar cinta sama cinta dan direstui kedua pihak orang tua. Selanjutnya cara gandharva di Bali sering terjadi, dimana pawiwahan didasari oleh sama-sama cinta tetapi tidak diketahui (mungkin tidak direstui) oleh salah satu pihak orang tua. Cara yang lain misalnya brahma, daiva, dan rsi kini kurang populer di masyarakat karena ada unsur campur tangan yang lebih kuat pada pihak orang tua sehingga terkesan sebagai diarahkan atau dipaksaan. Beberapa sloka yang perlu diketahui dalam melakukan hubungan sex antara suami - istri antara lain :


45 : Rtu kalabhigamisyat, swadaraniratah sada, parwawarjam wrajeccainam, tad wrato rati kamyaya (hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan selalu merasa puas dengan istrinya seorang; ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan sex pada hari apa saja kecuali hari parwani = purnama/tilem).

48 : Yugmasu putra jayante, striyo yugmasu ratrisu, tasmadyugmasu putrarthi, samvice dartave striyam (kalau menggauli istri pada hari-hari yang genap maka anak laki-lakilah yang lahir, sedangkan pada hari-hari yang ganjil anak perempuanlah yang lahir; karena suami yang menginginkan anak laki-laki hendaknya menggauli istrinya hanya dimasa yang baik pada hari-hari genap).
Yang dimaksud hari-hari genap adalah bilangan genap pada panglong dan penanggal. Panglong adalah hari-hari dari purnama ke tilem, sedangkan penanggal adalah hari-hari dari tilem ke purnama. Sehari setelah purnama, disebut "panglong ping pisan (1)" ini disebut hari ganjil sedangkan besoknya "panglong ping kalih (2)" disebut hari genap demikian seterusnya panglong ganjil dan genap silih berganti sampai panglong ping 14; panglong ping 15 adalah tilem, disarankan tidak mengadakanhubungan sex. Sehari setelah tilem (bulan gelap) disebut "penanggal ping pisan (1)" sebagai hari ganjil dan keesokan harinya disebut "penanggal ping kalih (2) sebagai hari genap, demikian seterusnya penanggal ganjil dan genap silih berganti sampai penanggal ping 14. Penanggal ping 15 adalah purnama, disarankan untuk tidak mengadakan hubungan sex. Dalam Kamasutra dijelaskan lebih rinci tentang cara-cara mengadakan hubungan sex. Hal penting yang dilarang adalah mengadakan hubungan sex dengan meniru cara-cara binatang, dan hubungan sex disaat istri sedang menstruasi. Hubungan sex juga dilarang disaat salah satu atau keduanya sedang mabuk, tidak sadarkan diri, takut, sedih, dan marah.
Peranan istri dalam keluarga sangat penting seperti yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra

III.56 : Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah, yatraitastu na pujyante, sarwastatraphalah kriyah (dimana wanita dihormati disanalah pada dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala).

57 : Socanti jamayo yatra, vinasyatyacu tatkulam, na socanti tu yatraita, wardhate taddhi sarvada (dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia).

60 : Samtusto bharyaya bharta, bhartra tathaiva ca, yaminneva kule nityam, kalyanam tatra vai dhruvam (pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal).

Pelaksanaan dharma dalam hidup berkeluarga ditegaskan dalam MD.III. 63, 66, 75, 94, 106, 117 dan 118. Pada intinya mengatur agar suatu keluarga senantiasa melaksanakan pemujaan kepada Hyang Widhi, mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Weda, menghormati orang - orang suci, menghormati tamu yang datang kerumah, dan berdana punia.

Wanaprasta

Wanaprasta home


Setelah berhasil melaksanakan grhastha ashrama (kehidupan berumah tangga) dengan baik maka tahapan berikutnya adalah vanaprastha. Ukuran yang digunakan menilai keberhasilan melaksanakan grhastha antara lain sudah tua, dan sudah mempunyai keturunan atau penyambung generasi yang mapan.
Pengertian lebih luas pada ketuaan adalah selain usia lanjut, juga mempunyai banyak pengalaman hidup, mampu mengatasi gelombang pahit getirnya kehidupan, serta mempunyai kebijaksanan yang dilandasi oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Keturunan atau generasi lanjutan yang mapan adalah anak kandung atau anak angkat yang sudah mandiri, mampu berdiri sendiri dalam menjalani kehidupan, dan tidak bergantung lagi pada orang tua baik dibidang ekonomi maupun yang lainnya. Jika dikaitkan dengan tahapan pekerjaan atau tugas, keadaan yang sesuai untuk vanaprastha adalah bila telah memasuki masa pensiun, jadi usia ketika itu sekitar 56 atau 60 tahun. Disaat itu biasanya kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sudah selesai secara skala dan niskala. Selesai secara skala artinya seperti uraian diatas, yaitu anak-anaknya sudah mandiri; selesai secara niskala artinya upacara manusia yadnya bagi anak-anaknya sudah selesai diselenggarakan. Sesuai dengan tradisi beragama Hindu di Bali yang mengacu pada Lontar Dharma Kauripan, Yadnya Prakerthi, dan Yama Purana Tattwa, upacara manusia yadnya yang menjadi kewajiban orang tua kepada anak dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai pawiwahan dengan urut-urutan sebagai berikut : magedong-gedongan, mapag rare, kepus puser, tutug kekambuhan, nigang sasihin, otonan, ngeraja sewala, dan mepandes.
Vanaprastha tidaklah diartikan sebagai meninggalkan rumah lalu pergi menyepi kehutan untuk bertapa, tetapi vanaprastha dimaknai sebagai hidup yang hening dan suci, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian, dan menguatkan pengendalian diri berdasarkan ajaran Agama Hindu. Ajaran agama yang diperoleh pada masa brahmacari kini dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari secara lebih mantap, lebih memusatkan perhatian pada bidang spiritual.
Orang yang melaksanakan vanaprastha disebut vanaprasthin, hendaknya selalu menjaga kesucian dan kesehatan jasmani/rohani, banyak melakukan pekerjaan mulia, bijaksana, bersahabat, berbicara manis dan menyenangkan, melakukan sadhana, melaksanakan latihan-latihan kerohanian (yoga), melakukan berbagai "vrata" atau pengekangan diri, suka belajar dan bergaul pada orang-orang suci (Sulinggih), sering me-dharma yatra, dll.
Pekerjaan mulia dalam arti seluas-luasnya adalah implementasi trihitakarana sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi. Trihitakarana mencakup unsur-unsur "parhyangan" adalah keselarasan hubungan manusia dengan Hyang Widhi, "pawongan" adalah keharmonisan hubungan sesama manusia, dan "palemahan" menjaga kelestarian alam semesta.
1. Sadhana menurut kitab suci Wrehaspati-tattwa adalah : mengerti pada ajaran Weda, tidak terikat pada pengaruh indria, dan tidak berharap menikmati hasil karya swadharma.
2. Vrata adalah pengekangan diri terhadap materi dan cara berbicara (mona), makanan dan minuman (upawasa), dan menjauhkan sifat-sifat malas atau suka tidur (jagra). Dalam masa vanaprastha, diupayakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan bidang spiritual di masa sebelumnya yaitu masa brahmacari dan grhastha. Masa ini juga dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi untuk menjadi manusia yang sempurna. .
Manusia yang sempurna menurut Upanisad adalah manusia yang mengetahui tentang "diri-nya" sebagaimana dinyatakan dalam Katha
Upanisad 1.3.3 dan 4 :
Atmanam rathinam vidhi, sariram ratham eva itu, buddhim tu sarathim viddhi, manah pragraham eva ca. Indriani hayan ahur visayam tesu gicaran, atmendriye mano yuktam bhoktety ahur manisinah.
Artinya :
Ketahuilah bahwa atman adalah tuannya sebuah kereta, dan kereta itu adalah badan jasmani; ketahuilah pula bahwa budhi itu adalah kusirnya kereta, pikiran adalah tali kekangnya, indria disebut sebagai kudanya, dan sasaran indria adalah jalanan. Atman yang dihubungkan dengan badan jasmani, budhi, pikiran dan indria yang terkendali dengan baik itulah kenikmatan sejati yang dikatakan oleh orang-orang yang bijaksana karena membawanya kejalan dharma.
Makna dari Upanisad ini menegaskan persyaratan seorang manusia yang sempurna adalah mempunyai badan yang sehat (diibaratkan sebagai badan kereta yang kuat), budhi yang baik (diibaratkan sebagai kusir yang pandai), pikiran yang sehat (diibaratkan sebagai tali kekang yang kuat), indria yang sehat (diibaratkan sebagai kuda yang sehat/kuat), dan arah kehidupan yang berke-Tuhan-nan (diibaratkan sebagai jalan yang jelas).
Dalam Manawa Dharmasastra Buku V. 109 disebutkan sebagai berikut :
Adbhirgatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyati, widyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena cuddhyati.
Atinya : Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.
Tubuh dibersihkan dengan air, artinya lebih luas tidak hanya mandi, tetapi termasuk memelihara badan/jasmani dengan memakan sesuatu yang baik (satvika ahara).
Permohonan memperoleh kesempurnaan hidup disebutkan dalam
Yayurveda XXXVI. 24 :
Om tac caksur devahitam purastacchukram uccarat, pasyema saradah satam, jivema saradah satam, srnuyama saradah satam, pra bravama saradah satam, adinah syama saradah satam, bhuyasca saradah satat.

Artinya :
Ya Hyang Widhi, semoga kami selama seratus tahun dapat menyaksikan mata-Mu yang bersinar itu diatas kehendak-Mu, muncul dihadapan kami, semoga kami hidup selama seratus tahun, semoga kami mendengar selama seratus tahun, semoga kami berkata yang baik selama seratus tahun, semoga kami dapat menegakkan kepala selama seratus tahun, ya bahkan lebih dari seratus tahun. Makna dari mantram Yayurveda itu adalah permohonan agar mendapatkan sinar terang dalam artian pendekatan spiritual kepada Hyang Widhi sebagai Yang Maha Kuasa serta diberikan waktu yang cukup untuk menyempurnakan kehidupan di dunia sebelum sampai tiba saatnya Atman bersatu dengan Brahman (moksa)
BHIKSUKA home

Setelah melalui tiga dari catur ashrama yaitu Brahmacari, Grhastha, dan Vanaprastha, maka bahasan selanjutnya adalah catur ashrama yang terakhir yaitu Bhiksuka. Bhiksuka juga dikatakan Sanyasin. Namun kehidupan Sanyasin yang benar-benar sesuai dengan Upanisad sangat sulit dilaksanakan. Sanyasin lebih tinggi dari Bhiksuka karena seorang Sanyasin sudah sama sekali terlepas dari ikatan-ikatan keduniawian, bahkan sudah tidak merasa mempunyai anak, cucu, dan keluarga lain, tidak memperhatikan dirinya dan meninggalkan rumah, berkelana menjalankan kesucian dan hidupnya dari meminta-minta atau dana punia masyarakat. Kematiannya yang ideal adalah secara moksa, atau jika belum mampu meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad (layon) maka Sanyasin memilih meninggal dunia di gunung, hutan, atau dipinggir sumber/mata air/sungai yang bersih dan laut.
Dalam sejarah perkembangan agama Hindu di Bali, para Sanyasin itu antara lain : Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Danghyang Nirartha, dll. Yang umum dan realistis dapat dilaksanakan dewasa ini adalah Bhiksuka. Secara sempit bhiksuka dikatakan menjadi Pandita (Pendeta, Romo Pandito, Sulinggih).
Arti lebih luas dari bhiksuka adalah menjalani kehidupan "sebagai" Pandita. Jadi walaupun tidak formal menjadi Pandita (artinya tetap sebagai Walaka, tidak melalui upacara dwijati), tetapi jika cara menempuh kehidupannya sudah mengikuti kriteria Pandita maka dia dapat disebut Sang Bhiksuka.

Bhagawadgita IV.19 :
Yasya sarve samarambhah, kamasamkalpavarjitah, jnanagnidagdhakar manah, tam ahuh panditam budhah.

Artinya : Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya, dan kepercayaannya dinyalakan oleh api pengetahuan, kepada ia dinamakan Pandita oleh orang-orang yang bijaksana. Berbuat tanpa pamrih dalam Upanisad disebut sebagai Niskama Karma dimana keyakinan tentang ajaran Karma Phala sudah mendalam, bahwa Hyang WIdhi akan memberikan kebaikan kepada orang yang berbuat baik dan memberikan keburukan kepada orang yang berbuat buruk. Karena demikianlah hukujhjmnya maka orang yang sudah mendalami ajaran karma phala tidak akan memikirkan hasil karmanya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Hyang Widhi. Orang yang demikian ini sudah tidak lagi hanya "menyatakan" bhakti pada Hyang Widhi, tetapi sudah menjadi "kenyataan" bahwa ia seorang Bhakta yang sejati. Ia adalah orang yang sudah tidak berambisi pada kehormatan, kekayaan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Ia berbuat dharma semata-mata karena bhakti kepada Hyang Widhi (lihat uraian tentang Bhakti-marga). Selanjutnya tentang Jnana Agni yang disebut dalam Bhagawadgita IV.9 adalah kepercayaan pada Hyang Widhi berdasarkan pengetahuan sejati. Orang yang menjalani kehidupan diterangi oleh Jnana Agni, mempunyai pengetahuan tentang ke-Tuhanan melalui pengalaman rohani yang mendalam. Kebijaksanaannya dicerahkan oleh pengetahuan sucinya, bagaikan sinar matahari menerangi kegelapan jagat raya. Orang yang menjalani kehidupan bhiksuka, juga sudah terbebas dari rasa suka dan duka. Mereka disebut sebagai orang yang "Majnyana".
Kitab suci Sarasamusccaya sloka 500, 501, 502, 503, 504, 505, 506, 507, dan 508 menguraikan dengan jelas tentang majnyana, antara lain disebutkan bahwa : Sang majnyana adalah mereka yang tingkat kearifan budhinya tinggi karena pikirannya penuh dengan pengetahuan suci (jnanabala), sehingga mampu melenyapkan kesukaan hati dan kedukaan hati. Kedukaan hati akan menimbulkan kesakitan jasmani, dan kesukaan hati akan memabukkan. Orang yang berbudhi luhur adalah orang yang tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang, jernih, suci dan dalam kesadaran tinggi pada hakekat brahma widya dan atma widya yaitu pengetahuan tentang atman dan brahman
Bila pada masa Bhiksuka seseorang ingin secara formal menjadi Pandita, maka ia harus melalui proses me-Diksa. Diksa dalam bahasa Sanskerta artinya upacara penerimaan menjadi murid dalam kesucian. Istilah lain yang digunakan di Bali untuk me-Diksa adalah : ma-Suci (disucikan), ma-Linggih (kedudukan mulia), ma-Bersih (disucikan), ma-Podgala (menggunakan atribut kepanditaan), ma-Dwijati (lahir yang kedua kali).
Vanaprastha


a. Sukla Brahmacari
Sukla Brahmacari dalam Silakrama dijelaskan sebagai berikut:
“Sukla Brahmacari ngarannya tanpa rabi sangkan rere, tan maju tan kuring Sira, adyapi teku ring wreddha tewi tan pangicep arabi sangkan pisan” (Silakrama hal. 32)
Artinya:
Sukla Brahmacari namanya orang yang tidak kawin sejak lahir sampai ia meninggal. Hal ini bukan karena impoten atau lemah sahwat. Dia sama sekali tidak pernah kawin sampai umur lanjut.
Dalam wira cerita Ramayana, Teruna Laksamana ditampilkan sebagai sosok yang menjalankan Sukla Brahmacari. Betapa pun wanita menggoda, termasuk Raksasa Surphanaka, ia tetap teguh iman melaksanakan Sukla Brahmacari, yakni tidak pernah kawin sampai akhir hayat dikandung badan.
b. Sewala Brahmacari
Tentang Sewala Brahmacari juga dijelaskan didalm Silakrama sebagai berikut:
“ Sewala Brahmacari ngranya, marabi pisan, tan parabi, muwah yan kahalangan mati srtinya, tanpa rabi, mwah sira, adnyapi teka ri patinya, tan pangucap arabya. Mangkana Sang Brahmacari yan sira Sewala Brahmacari”
Artinya:
Sewala Brahmacari namanya bagi orang yang didalm masi hidupnya hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan salah satu meninggal dunia, maka ia tidak kawin lagi lagi hingga datang ajalnya. Demikianlah namanya Sewala Brahmacari.
Jadi, sudah jelas diberikan batasan bahwa orang yang melaksanakan Sewala Brahmacari itu hanyalah melakukan perkawinan sekali seumur hidupnya. Rintangan apa pun yang menjadi kendala ia tetap berpegang pada prinsip ajaran Sewala Brahmacari.
c. Krsna Brahmacari
Dalam ajaran Tresna atau Kresna Brahmacari sudah diberikan suatu kelonggaran yang lebih terkait dengan masa Grehasta. Tetapi tetap berwawasan dengan hukum alami. Oleh, karena itu, kelonggaran tersebut tidak bersifat liberal. Dalam pengertian Tersna atau Kresna Brahmacari, seseorang diizinkan kawin lebih dari satu kali dalam batas maksimal 4 kali. Itu pun dengan kententuan bahwa seseorang Brahmacari boleh mengambil istri kedua jika istri pertama tidak dapat melahirkan keturunan, tidak dapat berperan sebagai seorang istri (mungkin sakit-sakitan)dan bila istri pertama mengizinkan untuk kawin kedua kalinya.

No comments:

Klik to Info :