Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
Free Website Hosting

Monday, December 28, 2009

Lestarikan Budaya Bali


SERBUAN budaya asing ke Bali patut menjadi perhatian kita semua. Seruan itu sudah lama didengungkan. Dibangunnya pusat kebudayaan seperti Ardha Candra Denpasar, juga dalam rangka melindungi budaya Bali.

Tentu tidak cukup hanya dibangun Taman Budaya. Kegiatan-kegiatan yang meramaikan taman Budaya mesti juga dilakukan. Jangan sampai taman budaya hanya ramai saat pesta kesenian Bali. Setelah itu seperti karang suwung; sepi tak ada kegiatan budaya atau berkesenian.

Kini di tengah serbuan wisatawan asing, domestik maupun pendatang ke Bali akan memberi dampak langsung kepada keteguhan budaya Bali. Hilangnya sawah-sawah di Denpasar- Badung dan diganti dengan mall, ruko, perumahan dan hotel akan memberi andil terkikisnya budaya Bali dan mulai masuknya budaya luar.

Monday, December 21, 2009

Pura Luhur Jati Luwih


PURA Luhur Jati Luwih berlokasi di wilayah Desa Adat Sarin Buana, Desa Wanagiri, Selemadeg, Tabanan. Berada di tengah-tengah hutan lindung pada sisi Sebelah tenggara punggung Gunung Batukaru dengan ketinggian sekitar seribu meter di atas permukaan laut, beriklim pegunungan yang dingin, dengan kelembaban udara yang cukup tinggi.


Pura ini diperkirakan telah berdiri pada abad ke-9 sampai 12 Masehi. Untuk mencapainya, para pamedek dapat melalui jalan raya jalur Denpasar-Gilimanuk, belok ke kanan jurusan Bajera Pupuan Sawah Wanagin hingga mencapai Desa Adat Sarin Buana. Dari Desa Sarin Buana kita harus memasuki hutan lindung lebih dan 3 km dengan kemiringan sekitar 45 derajat untuk mencapai pura ini.

Sangat sedikit sumber maupun catatan pengkajian yang mengungkap pendirian Pura Jati Luwih. Sumber yang dapat dikumpulkan melalui penuturan dan pemuka masyarakat, pemangku pura dan pelinggih pelinggih yang ada, serta tata upacara yang berlaku di pura tersebut. Berdasarkan penuturan Jero Mangku Gede (I Wayan Menteg) yang diyakini kebenarannya secara turun-temurun oleh masyarakat sekitar, pada zaman dahulu, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Batukaru, khususnya masyarakat di sekitar wilayah pura mengalami kemarau panjang sehingga lahan pertanian kering tidak menghasilkan. Masyarakat pun mengalami kelaparan oleh peristiwa itu.


Dengan harapan untuk bertahan hidup, sebagian masyarakat masuk ke hutan untuk berburu maupun mendapatkan beberapa bahan makanan. Beberapa di antaranya kawehan (mengalami kehilangan pandangan normal dan mengalami penglihatan gaib) dan melihat sawah yang padinya menguning dan sebuah rumah indah. Oleh sang kakek yang menjadi pemilik rumah dan padi itu, warga tersebut diajak singgah ke rumah.


Di sana warga yang berburu itu diberi beberapa helai bulir bibit padi gaga (tegalan) dan berpesan agar padi tersebut ditanam dan dikembangkan di desanya. Setelah menerima bibit padi, tiba-tiba kakek tersebut menghilang seketika dan rumah yang bagus tersebut kini berubah menjadi bebaturan dalam kesadaran yang pulih dari pemburu tersebut.


Bibit padi tersebut ternyata berkembang dengan baik dan di tempat bebaturan itu didirikan pelinggih untuk mengupacarai setelah padi menguning atau menjelang panen. Pelinggih tersebut diberi nama Pucak Sari. Pura Pucak Sari adalah pura yang pertama didirikan untuk penunasan amerta. Tempat itu diberi tanda denganpelawa yang ditancapkan. Sementara desa di mana bibit path itu ditanam dikenal oleh masyarakat sebagai Desa Sarin Buana yang memiliki anti tempat sari-sarinya buana atau inti sari bumi yang memberi sumber kehidupan dan kemakmuran.


Dikatakan Jero Mangku Gede, sebelum zaman kernjaan di Tabanan, Pura Luhur Jati Luwih dikenal dengan Pura Luhur Sanin Buana, sama dengan nama desa adat sebagai pengempon pura fersebut. Miilai pada zaman kerajaan, nama Pura Sanin Buana diubah menjadi Pura LuhurJatiLuwih untuk tidak mengaburkan nama Pura Sarin Buana dengan nama Desa Adat Sarin Buana.


Pura Luhur Jati Luwih berarti pura yang berada di atas, di dataran tinggi, yang benar-benar utama, mulia atau baik (luwih). Menurut keyakinan masyarakat setempat, Pura Luhur Jati Luwih juga bermakna tempat suci yang benar-benar selalu memberikan kebaikan dan kesejatian dan hal yang dimohon pada tempat ini.

Dalam perjalanan sejarah, ternyata Pura Luhur Jati Luwih mengalami beberapa kali renovasi sehingga banyak bukti kepurbakalaan hilang. Semgat pemangku pura, pemugaran yang diketahuinya pertama dilakukan tahun 1971, disusul dengan pemugaran kedua tahun 1978 dan pemugaran ketiga tahun 1993. Berdasarkan cerita, bentuk asli pelinggih sebelum dipugar adalah berbentuk bebaturan yang berundak dengan batu menhir tertancap pada sisi-sisi samping ruang altar pemujaan.

Dari pengkajian yang dilakukan termasuk oleh Bappeda Tabanan disimpulkan, bangunan asli pelinggih Pura Luhir Jati Luwih merupakan bangunan zaman batu besar (megalitikum) dengan tradisi kebudayaan Hindu klasik. Di antara delapan buah pelinggih yang berjajar menghadap ke selatan hanya satu buah yang masth berbentuk bebaturan hingga kini yaitu pelinggth paling timur untuk pemujaan Ida Batari Pemutering Danu (Ulun Danu).


Sementara bangunan pelinggth lainnya telah diganti dengan bangunan pelinggih gegedongan yaitu gedong kereb dua buah sebagai pelinggih pokok untuk penghayatan ke Pucak Kedaton dan Pelinggih Agung Ida Batara Luhir Jati Luwih. Sedangkan lima buah pelinggih lainnya berbentuk gedong sekapat makereb duk (beratap ijuk) masing-masing beruangan satu.


Ada satu pelinggih penghayatan ke Majapahit berupa Padma Capak Alit, menggambarkan pura tersebut mengalami proses perkembangan dan satu periode ke periode lainnya, dan zaman kuno hingga adanya pengaruh Jawa, yang diperkirakan zaman Mpu Kuturan Sebagai tokoh suci sekaligus arsitek penataan pura di Bali.


Uniknya seluruh pelinggih yang ada berupa bangunan pendek-pendek, berbeda dengan pura lainnya di Bali yang menjulang tinggi Dan peninggalan sejarah dan konsep pemujaan di pura itu, diperkirakan Pura Jati Luwih dibangun zaman Apaniyaga yaitu peralihan zaman Bali Aga ke zaman pengaruh Jawa sekitar abad ke-9 sampai 12 Masehi. Peninggalan sejarah berupa prasasti yang terdapat di desa Sarin Buana bertahun Caka 1103, zaman pemerintahan Raja Jaya Pangus.

Bukti penunjuk lain, juga terdapat peninggalan sejarah yang tersimpan di Pura Siwa Desa Adat Sarin Buana berupa batu berbentuk kepala babi dan beberapa buah gong serta peralatan upacara berupa bajra atau genta. Dan bukti tersebut, menunjukkan Pura Luhur Jati Luwih merupakan pura yang cukup tua dengan karakteristik pemujaan pada puncak gunung sebagai purusa dan ulun danu sebagai pradana. Masyarakat pendukung telah mengenal sistem pertanian dan menetap dalam lingkungan desa pakraman.


Sejak dulu, pura ini dibina atau diayomi langsung oleh Puri Agung Tabanan dan penganceng dari pura ini adalah Jero Subamia Tabanan yang pada zaman kerajaan sebagai patihnya Raja Tabanan.

Mencari Jati Diri

Hampir setiap jengkal tanah yang ada di Bali merupakan bagian dari jejak suci perjalanan orang-orang suci yang datang ke Bali. Salah satunya, Dang Hyang Dwijendra. Hal ini senantiasa memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi warga hingga kini. Di manapun beliau berada, membuat suatu perubahan yang mempunyai nilai religius sangat tinggi. Salah satunya, Pura Tugu yang terletak di Desa Tegal Tugu, Kecamatan Gianyar. Apa dan bagaimana makna dan filosofi pelinggih yang ada di Pura Tugu?

KATA “tugu” dari hahasa Jawa disamakan dengan candi. Dan, hal tersebut juga benar adanya sebagaimana yang terdapat di Pura Tugu. Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh (Dang Hyang Dwijendra), dibuat menyerupai candi. Banyak orang yang belum mengetahui tentang keberadaan Pura Tugu. Namun keberadaan pura ini tercantum dalam Dwijendra Tatwa.
Nama Pura Tugu ini sangat jelas sekali disebutkan keberadaannya yang berkaitan dengan perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra saat ada di Gianyar. Selain tercantum dalam Dwijendra Tatwa, keberadaan Pura Tugu ini, menurut Dewa Mangku Tugu, disinyalir juga tercatat dalam prasasti yang ada di Puri Gianyar.

Dewa Mangku menjelaskan bahwa Pura Tugu yang terletak di pinggiran Tukad Cangkir merupakan pura yang masih diempon oleh pihak Puri Gianyar hingga saat ini. Selain Pura Tugu, di areal pura tersebut masih berkaitan dengan keberadaan Pura Melanting dan Pura Dalem Segening yang merupakan pura dari trah Dewa Agung Manggis, Raja Puri Gianyar. Hal ini juga dapat dilihat dari keberadaan pohon manggis di areal pura tersebut.
Pohon yang jumlahnya sebanyak empat buah ini, konon telah berusia ratusan tahun. Dewa Mangku yang berasal dari keluarga pemangku secara turun-temurun sebagai pengayah di pura tersebut, mengakui seingatnya bahwa pohon tersebut telah ada dan ukurannya tidak jauh mengalami perubahan.

Pura Tugu berada di hulu Desa Tegal Tugu. Tepatnya di sebelah timur lapangan Tegal Tugu. Pura ini dilihat dari luar tampak sekali mempunyai perbedaan dengan pura lainnya. Khususnya, pada bebentaran angkul-angkul pura.

Saat memasuki pura tersebut sama sekali pada angkul-angkul pura tidak ada gelung kori (atap). Konon, arsitektur Candi Bentar tersebut berkaitan dengan kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke pura tersebut. Meski demikian, di Pura Tugu ini tetap berkonsepkan pada Tri Mandala. Pura Tugu terdiri atas bagian utama mandala, madya mandala dan nista mandala.
Di bagian utama mandala (jeroan) terdapat sejumlah pelinggih. Di antaranya, Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh yang bentuknya menyerupai candi dengan dua pelinggih pengabih. Di depan pelinggih candi terdapat pelinggih Gedong Betel yang merupakan tempat berias tatkala diselenggarakan piodalan. Di bagian jeroan juga ada Pelinggih Ulun Suwi dan Pelinggih Batara Segara, serta sejumlah pelinggih lainnya. Sementara di bagian madya mandala sama sekali tidak terdapat pelinggih. Namun dua pengapit dan dua sedan tampak pada bagian nista madala pura. Selain itu, di bagian utama mandala juga terdapat bangunan Pura Dalem Segening. Letaknya yang dalam satu kawasan ini hanya dibatasi dengan tembok penyengker.

Pelaksanaan piodalan di Pura Tugu dilakukan setiap Anggarkasih, Medangsia. Warga yang mengaturkan bakti selain dari Desa Tegal Tugu, juga banyak pemedek dari luar Gianyar yang datang saat piodalan. “Bukan saja di setiap diaturkan piodalan, setiap hari purnama dan tilem juga ada warga yang datang untuk bersembahyang,” ujar pemangku pura.

Bahkan, kini bayak warga yang berasal dari golongan brahmana datang ke Pura Tugu guna melakukan persembahyangan. Dalam pura tugu tersebut, salah satu pelinggih yang ada juga merupakan pesimpangan Batara Sakti yang berstana di Pura Manuaba.
Kilas balik keberadaan Pura Tugu, diceritakan bahwa dalam perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang sampai di suatu pemukiman penduduk. Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang, beliau ingin beristirahat dan saat itu berhenti di luar suatu pura kahyangan. Tiba-tiba, di tengah peristirahatan beliau datang seorang pemangku (pendeta pura) dan dalam pura setelah menyapu dan melalukan pembersihan, menghampiri Dang Hyang Dwijendra yang berhenti di luar pura. Setelah bertemu, pemangku pura tersebut kemudian menyuruh beliau untuk menyembah ke dalam pura. Dang Hyang Dwijendra saat itu tak membantah dan menuruti permintaan dari pemangku untuk menyembah di pura tersebut. Bergegaslah beliau masuk ke pura diiringi oleh pemangku. Beliau bersila berhadapan dengan bangunan pelinggih yang ada di pura tersebut lain melakukan yoga.

Tiba-tiba saja bangunan pelinggih tersebut rusak, membuat pemangku terkejut disertai dengan perasaan terharu melihat kenyataan tersebut. Pemangku pun menangis dan meminta maaf atas kesalahannya dan memohon agar bangunan pelinggih tersebut dikembalikan lagi seperti semula.

Dengan kesucian dan yoga dari Dang Hyang Dwijendra, akhirnya bangunan pelinggih (Gedong Betel) yang ada di pura tersebut kembali seperti semula. Pada kesempatan tersebut, atas kesucian dan kesaktian dari Dang Hyang Dwijendra, beliau memberikan kancing gelung yang dimilikinya kepada pemangku pura. Kancing gelung tersebut agar ditempatkan di pura yang diemponnya, yang kini bernama Pura Tugu.

Sebagaimana biasanya, setiap piodalan di Pura Tugu, menurut penuturan tetua di desa setempat, kancing gelung tersebut dipendak (dijemput) untuk diupacarai di pura dari tempat panyimpenannya di Puri Gianyar. Hal itu pun berlaku hingga kini.
Dan sepenggalan cerita keberadaan Pura Tugu, betapa makna yang dalam dari apa yang terjadi saat itu. Betapa kesucian dari yoga mempunyai nilai yang sangat tinggi. Demikian pula dalam hal kerendahan hati yang harus kita miliki dalam menemukan jati diri. Meski dalam hal ini beliau mengetahui apa yang akan terjadi pada pelinggih pura tersebut di saat akan melakukan persembahyangan di pura yang diempon oleh pemangku tersebut.
Sementara itu, selama sebagai pengayah di Pura Tugu, Dewa Aji Mangku mengakui bahwa di samping sering didatangi warga setempat dari luar daerah banyak pula pejabat yang tangkil ke pura tersebut. Mereka datang dengan membawa sesajen melakukan persembahyangan di depan Pelinggih Dang Hyang Dwijendra. Kedatangan mereka sebagaimana warga lainnya yang memohon keselamatan.

Apa permohonan mereka di luar itu, Dewa Aji Mangku mengaku tidak tahu. “Apa maksud dan tujuan dari mereka yang datang sama sekali tidak diketahui,” ujarnya. Namun, di Pura Tugu juga merupakan tempat bagi calon pandita (pedanda). Di antara calon orang suci ini datang melakukan persembahyangan dengan sesajen lengkap untuk meminta restu serta pawintenan termasuk padiksaan.

Bahkan, ada juga pedanda yang datang ke pura tersebut hanya untuk mempasupati buku-buku pelajarannya, serta ngewintenan bajra yang dipergunakan untuk melakukan proses upacara. Pura Tugu juga dipercaya sebagai pemberi berkah intelektual. Di samping kesehariiannya, siswa-siswa sekolah setempat melakukan persembahyangan, ada pula warga yang secara khusus datang ke pura untuk memohon wahyu untuk dapat sukses menyelesaikan pendidikannya.

Friday, December 18, 2009

Meditasi dengan gaya Gayatri

MEDITASI DENGAN GAYATRI MANTRA

Sudah dikatakan Gayatri mantram mempunyai vibrasi sangat kuat terhadap otak dan batin asalkan tahu bagaimana cara menggunakan mantra tersebut. Meditasi
pada hakekatnya berhubungan dengan pikiran, kesadaran, serta spirit dan sangat dibutuhkan guru yang khusus. Apabila anda ingin menjadikan Gayatri Mantra sebagai bagian dari meditasi anda harus melakukan puasa putih(tanpa garam, dan tidak minum susu) selama dua hari untuk memohon berkat kepada Maha Dewi.

Lakukan puasa mulai hari Rabu (pagi) sampai Jumat (pagi) hanya makan nasi putih dan air putih saja dan lakukan puja Gayatri setiap pagi menghadap matahari
terbit, siang hari, dan malam hari. Dalam mengucapkan Gayatri mantra enam kali untuk pagi hari, empat kali untuk siang hari, dan dua puluh sembilan kali untuk
malam hari. Lakukan puasa dan puja Gayatri dengan ketulusan hati jangan memohon suatu daya-daya sakti tertentu sebab belum tentu keinginan anda akan
terpenuhi. Setelah melakukan puasa dan puja gayatri selama dua hari barulah anda di perkenankan untuk melakukan meditasi ternadap Gayatri mantra sebab api spirit anda sudah menyala.

Tambahan:
Dalam penjelasannya puasa putih ini dapat dilakukan sehari saja tapi harus pada hari kelahirannya. Misalnya lahir hari Senen, maka puasa dilakukan pada Senen pagi hingga Selasa pagi.

TEORI MEDITASI

Sebelum meditasi cucilah muka, tangan, serta kaki, atau anda mandi untuk membersihkan badan dari kotoran sekaligus membuat badan menjadi segar. Duduklah dengan memakai alas dari kain, tikar, atau selimut, posisi punggung tegak lurus dan tangan diletakkan dipangkuan dalam posisi relek. Pejamkan mata, serta tenangkan pikiran berberapa detik, setelah itu ucapkan mantra "

OM Bhur, OM Bhuvah, OM Svah"

ucapkan dengan suara lambat serta santai jangan tergesa-gesa sebanyak lima
kali, ini bertujuan untuk membersihkan lapisan pikiran.

Pada saat mengucapkan mantra ini arahkan pikiran pada mantra dan suara bukan pada bayangan pikiran. Setelah baca mantra selesai tutuplah mulut serta tenangkan pikiran lalu ucapkan Gayatri mantram

" OM Bhur, Bhuvah, Svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya
dimahi, dhiyo yo nah pracodayat"

dengan lambat dan tenang di dalam hati. Arahkan pikiran serta getaran suara mantra pada jantung, anda cukup meniatkan saja bukan membayangkan.

Meditasi dengan Gayatri mantram sangat efektif untuk berbagai macam keperluan seperti melindungi diri dari energy negatif, kecantikan, kekuatan batin, kecerdasan
dan lain-lain. Kekuatan Gayatri mantra tidak bisa berfungsi apabila disertai niat kurang baik. Meditasi Gayatri mantra apabila dilakukan dengan baik serta
tulus akan banyak muncul keajaiban-keajaiban yang tidak bisa kita sangka. Gayatri mantra bukan bekerja pada maksud si meditator namun, karunia, energy,
rahmat, dari Maha Devi Gayatri yang berhak menentukan. Bagaikan mobil, sang supirlah yang tahu kemana tujuan dari mobil itu, bukan tujuan dari mobil tersebut yang dituruti sang supir.

Energy Gayatri masuk dari ubun-ubun melalui tulang belakang serta menyebar keseluruh tubuh fisik, tubuh energy, dan atma. Banyak guru-guru suci yang tercerahkan mengatakan "pencerahan akan kalian dapatkan pada Gayatri mantra. Pada jaman kali yuga ini tiada yang mampu melepaskan lapisan kekotoran pikiran
selain getaran halus dari Gayatri mantra.

TIPS

Apa bila anda merasa ada sakit yang disebabkan oleh ulah niat jahat seseorang, dan kalau percaya dengan hal ini anda bisa menggunakan cara berikut ini. Sediakan air bersih , higienis, untuk diminum, lalu jemurlah air tersebut pada cahaya matahari serta cahaya bulan di malam hari. Setelah air tersebut dijemur oleh kedua unsur cahaya tersebut berdoalah pada Tuhan sambil membaca Gayatri mantram 11 kali, setiap habis membaca gayatri mantram tiupkan nafas anda pada air tersebut. Air tersebut bisa diminum atau dipakai campuran obat, mandi dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini segala macam bentuk energy jahat dari seseorang akan hancur oleh kekuatan dari mantra tersebut, hal ini sering terbutkti di daerah-daaerah terpencil. Ada banyak lagi cara-cara yang bisa dijadikan renungan, betapa Gayatri mantra mempu untuk menghadapi dilema dalam hidup ini.


===================================================


Monday, December 14, 2009

Karma Pala

Agama Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala (karma = perbuatan; phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi)

Sunday, December 6, 2009

Catur Asrama

CATUR ASRAMA home

Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu : Brahmacari, Grhastha, Vanaprastha, dan Bhiksuka. Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
Brahmacari
Brahmacari adalah masa belajar, masa menuntut ilmu/pendidikan. Brahmacari dalam arti sempit adalah masa belajar secara formal misalnya belajar sejak TK sampai perguruan tinggi. Brahmacari dalam arti yang lebih luas, adalah upaya meningkatkan pengetahuan dengan berbagai cara (formal dan informal) yang berlangsung sepanjang masa kehidupan karena sebenarnya proses belajar-mengajar berlangsung tiada henti. Brahmacari dalam arti khusus ada dua yaitu :
1) Brahmacari dalam kaitan masa aguron-guron (belajar agama/spiritual) seorang sisya (siswa) kepada Nabe (guruspiritual) dimana Nabe tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik dan melatih, dan
2) Brahmacari dalam arti menjauhkan diri dari keinginan sex atau tidak kawin/nikah selama hidup. Yang terakhir ini disebut sebagai sukhla brahmacari. Pentingnya Brahmacari Ashrama, disebutkan dalam Atharvaveda sebagai berikut :

Brahmacaryena tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate (XI.5.17). Sa dadhara prthivim divam ca (XI.5.1). Tasmin devah sammanaso bha vanti (XI.5.1)

Artinya :
Seorang pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan seorang guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang yang sempurna; Seseorang yang melaksanka brahmacari akan menjadi penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi) bersemayam pada diri seorang brahmacari.

Dari kutipan Veda itu jelaslah kiranya bahwa kewajiban manusia yang utama dan yang pertama dilakukan adalah menuntut ilmu atau belajar dan berpendidikan, karena dari pendidikan/pengajaranlah pikiran dikembangkan untuk menuju kepada Catur purushaarta seperti yang telah dikemukakan dalam uraian tentang catur purushaarta terdahulu. Pelajaran dan pendidikan juga akan membangun kemampuan berpikir untuk memilah antara dharma (perbuatan baik) dan adharma (perbuatan tidak baik) sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup.
Kitab suci Sarasamusccaya 2 :
Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesvevavakarayet.

Artinya :
Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik segala yang buruk itu; demikianlah pahalanya menjadi manusia.
Dalam Upanisad disebutkan pula bahwa arti kata Manusah adalah : Manu = kebijaksanaan, sah = mempunyai. Jadi manusia adalah mahluk yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia yaitu Sabda (kemampuan berbicara), Bayu (kemampuan bergerak) dan Idep (kemampuan berpikir). "Idep" yang dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan akan menjadikan manusia itu lebih bijaksana sehingga disebut sebagai manusia yang sempurna. Mahluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja yaitu kemampuan bergerak (bayu) dan kemampuan bersuara (sabda). Binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir (idep) oleh karena itu binatang beraktivitas berdasarkan naluri, tidak berdasarkan pikiran. Tumbuh-tumbuhan hanya mempunyai kemampuan tumbuh (bayu) saja, tidak mempunyai sabda dan idep.Selanjutnya Sarasamusccaya menyatakan bahwa kita wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi manusia, mahluk yang utama, karena itu gunakanlah kesempatan hidup yang sempit ini dengan sebaik-baiknya, kesempatan mana sungguh sangat sulit diperoleh; lakukanlah segala sesuatu yang baik (melalui brahmacari) yang mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan, gunakanlah kesempatan ini untuk mencapai moksa/sorga. "Paramarthanya, pengpengen ta pwa katemwaniking si dadi wwang, durlabha wi ya ta, saksat handaning mara ring swarga ika, sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena"
Grahasta



Grahasta home

Grhastha adalah masa berumah tangga, masa menikah dan mengembangkan keturunan. Dalam menempuh ashrama yang kedua ini diupayakan terwujudnya rumah tangga/keluarga yang bahagia. Kebahagiaan ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/perumahan, semuanya disebut artha. Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi yang disebut dharma, dan unsur non material lainnya : pendidikan, sex, kasih sayang antara suami - istri - anak, mempunyai keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat yang semuanya disebut kama. Berkeluarga mempunyai arti dan kedudukan khusus dalam kehidupan manusia karena melalui pernikahan lahirlah anak-anak yang disebut putra.
Kata putra terdiri dari dua pokok kata yaitu "PUT" artinya neraka, dan "RA" artinya menyelamatkan. Jadi putra adalah anak yang menyelamatkan orang tuanya dari neraka.Disebut demikian karena anaklah yang merawat orang tuanya ketika mereka secara phisik dan mental sudah tua dan kurang mampu mengurus diri sendiri. Disamping itu sesuai dengan tradisi beragama Hindu di Bali, anak mempunyai kewajiban melaksanakan upacara pitra yadnya bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia, dengan tujuan agar roh/atma-nya terbebas dari ikatan Panca Mahabutha dan Panca Tanmatra.
Cinta kasih dalam hubungan anak orang tua berlangsung timbal balik; sejak anak masih dalam kandungan ibu sampai dewasa dan mandiri, orang tualah yang berkewajiban mengurus dan setelah anak memasuki grhastha ashrama, anaklah yang wajib mengurus orang tuanya. Hidup berkeluarga diawali dengan "pawiwahan" maka oleh karena itu pawiwahan dalam Manawa Dharmasastra disebut sebagai "Dharmasampati" artinya pelaksanaan dharma. Kebalikannya dan yang tergolong adharma adalah perceraian.
Agar terwujud keluarga yang bahagia, Manawa Dharmasastra Buku ke-3 (Tritiyo dhyayah) mengatur sejak cara melaksanakan pawiwahan sampai cara membina keluarga bahagia.
Beberapa sloka yang penting antara lain :
21 : Brahmo daivastathaivarsah, prayapatyastathasurah, gandharva raksasascaiva, paisacasca astamo dharmah (delapan cara pawiwahan adalah : brahma, daiwa, rsi, prajapati, asura, gandharwa, raksasa dan pisaca).
Dari delapan cara pawiwahan itu ada tiga cara yang dewasa ini sudah tidak sesuai karena melanggar hukum yaitu : asura, raksasa dan paisaca. Sedangkan diantara lima cara sisanya, yang paling populer adalah prajapatya yaitu pawiwahan atas dasar cinta sama cinta dan direstui kedua pihak orang tua. Selanjutnya cara gandharva di Bali sering terjadi, dimana pawiwahan didasari oleh sama-sama cinta tetapi tidak diketahui (mungkin tidak direstui) oleh salah satu pihak orang tua. Cara yang lain misalnya brahma, daiva, dan rsi kini kurang populer di masyarakat karena ada unsur campur tangan yang lebih kuat pada pihak orang tua sehingga terkesan sebagai diarahkan atau dipaksaan. Beberapa sloka yang perlu diketahui dalam melakukan hubungan sex antara suami - istri antara lain :


45 : Rtu kalabhigamisyat, swadaraniratah sada, parwawarjam wrajeccainam, tad wrato rati kamyaya (hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan selalu merasa puas dengan istrinya seorang; ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan sex pada hari apa saja kecuali hari parwani = purnama/tilem).

48 : Yugmasu putra jayante, striyo yugmasu ratrisu, tasmadyugmasu putrarthi, samvice dartave striyam (kalau menggauli istri pada hari-hari yang genap maka anak laki-lakilah yang lahir, sedangkan pada hari-hari yang ganjil anak perempuanlah yang lahir; karena suami yang menginginkan anak laki-laki hendaknya menggauli istrinya hanya dimasa yang baik pada hari-hari genap).
Yang dimaksud hari-hari genap adalah bilangan genap pada panglong dan penanggal. Panglong adalah hari-hari dari purnama ke tilem, sedangkan penanggal adalah hari-hari dari tilem ke purnama. Sehari setelah purnama, disebut "panglong ping pisan (1)" ini disebut hari ganjil sedangkan besoknya "panglong ping kalih (2)" disebut hari genap demikian seterusnya panglong ganjil dan genap silih berganti sampai panglong ping 14; panglong ping 15 adalah tilem, disarankan tidak mengadakanhubungan sex. Sehari setelah tilem (bulan gelap) disebut "penanggal ping pisan (1)" sebagai hari ganjil dan keesokan harinya disebut "penanggal ping kalih (2) sebagai hari genap, demikian seterusnya penanggal ganjil dan genap silih berganti sampai penanggal ping 14. Penanggal ping 15 adalah purnama, disarankan untuk tidak mengadakan hubungan sex. Dalam Kamasutra dijelaskan lebih rinci tentang cara-cara mengadakan hubungan sex. Hal penting yang dilarang adalah mengadakan hubungan sex dengan meniru cara-cara binatang, dan hubungan sex disaat istri sedang menstruasi. Hubungan sex juga dilarang disaat salah satu atau keduanya sedang mabuk, tidak sadarkan diri, takut, sedih, dan marah.
Peranan istri dalam keluarga sangat penting seperti yang dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra

III.56 : Yatra naryastu pujyante, ramante tatra devatah, yatraitastu na pujyante, sarwastatraphalah kriyah (dimana wanita dihormati disanalah pada dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala).

57 : Socanti jamayo yatra, vinasyatyacu tatkulam, na socanti tu yatraita, wardhate taddhi sarvada (dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia).

60 : Samtusto bharyaya bharta, bhartra tathaiva ca, yaminneva kule nityam, kalyanam tatra vai dhruvam (pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti akan kekal).

Pelaksanaan dharma dalam hidup berkeluarga ditegaskan dalam MD.III. 63, 66, 75, 94, 106, 117 dan 118. Pada intinya mengatur agar suatu keluarga senantiasa melaksanakan pemujaan kepada Hyang Widhi, mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Weda, menghormati orang - orang suci, menghormati tamu yang datang kerumah, dan berdana punia.

Wanaprasta

Wanaprasta home


Setelah berhasil melaksanakan grhastha ashrama (kehidupan berumah tangga) dengan baik maka tahapan berikutnya adalah vanaprastha. Ukuran yang digunakan menilai keberhasilan melaksanakan grhastha antara lain sudah tua, dan sudah mempunyai keturunan atau penyambung generasi yang mapan.
Pengertian lebih luas pada ketuaan adalah selain usia lanjut, juga mempunyai banyak pengalaman hidup, mampu mengatasi gelombang pahit getirnya kehidupan, serta mempunyai kebijaksanan yang dilandasi oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Keturunan atau generasi lanjutan yang mapan adalah anak kandung atau anak angkat yang sudah mandiri, mampu berdiri sendiri dalam menjalani kehidupan, dan tidak bergantung lagi pada orang tua baik dibidang ekonomi maupun yang lainnya. Jika dikaitkan dengan tahapan pekerjaan atau tugas, keadaan yang sesuai untuk vanaprastha adalah bila telah memasuki masa pensiun, jadi usia ketika itu sekitar 56 atau 60 tahun. Disaat itu biasanya kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya sudah selesai secara skala dan niskala. Selesai secara skala artinya seperti uraian diatas, yaitu anak-anaknya sudah mandiri; selesai secara niskala artinya upacara manusia yadnya bagi anak-anaknya sudah selesai diselenggarakan. Sesuai dengan tradisi beragama Hindu di Bali yang mengacu pada Lontar Dharma Kauripan, Yadnya Prakerthi, dan Yama Purana Tattwa, upacara manusia yadnya yang menjadi kewajiban orang tua kepada anak dimulai sejak bayi dalam kandungan sampai pawiwahan dengan urut-urutan sebagai berikut : magedong-gedongan, mapag rare, kepus puser, tutug kekambuhan, nigang sasihin, otonan, ngeraja sewala, dan mepandes.
Vanaprastha tidaklah diartikan sebagai meninggalkan rumah lalu pergi menyepi kehutan untuk bertapa, tetapi vanaprastha dimaknai sebagai hidup yang hening dan suci, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian, dan menguatkan pengendalian diri berdasarkan ajaran Agama Hindu. Ajaran agama yang diperoleh pada masa brahmacari kini dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari secara lebih mantap, lebih memusatkan perhatian pada bidang spiritual.
Orang yang melaksanakan vanaprastha disebut vanaprasthin, hendaknya selalu menjaga kesucian dan kesehatan jasmani/rohani, banyak melakukan pekerjaan mulia, bijaksana, bersahabat, berbicara manis dan menyenangkan, melakukan sadhana, melaksanakan latihan-latihan kerohanian (yoga), melakukan berbagai "vrata" atau pengekangan diri, suka belajar dan bergaul pada orang-orang suci (Sulinggih), sering me-dharma yatra, dll.
Pekerjaan mulia dalam arti seluas-luasnya adalah implementasi trihitakarana sebagai wujud bhakti kepada Hyang Widhi. Trihitakarana mencakup unsur-unsur "parhyangan" adalah keselarasan hubungan manusia dengan Hyang Widhi, "pawongan" adalah keharmonisan hubungan sesama manusia, dan "palemahan" menjaga kelestarian alam semesta.
1. Sadhana menurut kitab suci Wrehaspati-tattwa adalah : mengerti pada ajaran Weda, tidak terikat pada pengaruh indria, dan tidak berharap menikmati hasil karya swadharma.
2. Vrata adalah pengekangan diri terhadap materi dan cara berbicara (mona), makanan dan minuman (upawasa), dan menjauhkan sifat-sifat malas atau suka tidur (jagra). Dalam masa vanaprastha, diupayakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan bidang spiritual di masa sebelumnya yaitu masa brahmacari dan grhastha. Masa ini juga dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi untuk menjadi manusia yang sempurna. .
Manusia yang sempurna menurut Upanisad adalah manusia yang mengetahui tentang "diri-nya" sebagaimana dinyatakan dalam Katha
Upanisad 1.3.3 dan 4 :
Atmanam rathinam vidhi, sariram ratham eva itu, buddhim tu sarathim viddhi, manah pragraham eva ca. Indriani hayan ahur visayam tesu gicaran, atmendriye mano yuktam bhoktety ahur manisinah.
Artinya :
Ketahuilah bahwa atman adalah tuannya sebuah kereta, dan kereta itu adalah badan jasmani; ketahuilah pula bahwa budhi itu adalah kusirnya kereta, pikiran adalah tali kekangnya, indria disebut sebagai kudanya, dan sasaran indria adalah jalanan. Atman yang dihubungkan dengan badan jasmani, budhi, pikiran dan indria yang terkendali dengan baik itulah kenikmatan sejati yang dikatakan oleh orang-orang yang bijaksana karena membawanya kejalan dharma.
Makna dari Upanisad ini menegaskan persyaratan seorang manusia yang sempurna adalah mempunyai badan yang sehat (diibaratkan sebagai badan kereta yang kuat), budhi yang baik (diibaratkan sebagai kusir yang pandai), pikiran yang sehat (diibaratkan sebagai tali kekang yang kuat), indria yang sehat (diibaratkan sebagai kuda yang sehat/kuat), dan arah kehidupan yang berke-Tuhan-nan (diibaratkan sebagai jalan yang jelas).
Dalam Manawa Dharmasastra Buku V. 109 disebutkan sebagai berikut :
Adbhirgatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyati, widyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena cuddhyati.
Atinya : Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.
Tubuh dibersihkan dengan air, artinya lebih luas tidak hanya mandi, tetapi termasuk memelihara badan/jasmani dengan memakan sesuatu yang baik (satvika ahara).
Permohonan memperoleh kesempurnaan hidup disebutkan dalam
Yayurveda XXXVI. 24 :
Om tac caksur devahitam purastacchukram uccarat, pasyema saradah satam, jivema saradah satam, srnuyama saradah satam, pra bravama saradah satam, adinah syama saradah satam, bhuyasca saradah satat.

Artinya :
Ya Hyang Widhi, semoga kami selama seratus tahun dapat menyaksikan mata-Mu yang bersinar itu diatas kehendak-Mu, muncul dihadapan kami, semoga kami hidup selama seratus tahun, semoga kami mendengar selama seratus tahun, semoga kami berkata yang baik selama seratus tahun, semoga kami dapat menegakkan kepala selama seratus tahun, ya bahkan lebih dari seratus tahun. Makna dari mantram Yayurveda itu adalah permohonan agar mendapatkan sinar terang dalam artian pendekatan spiritual kepada Hyang Widhi sebagai Yang Maha Kuasa serta diberikan waktu yang cukup untuk menyempurnakan kehidupan di dunia sebelum sampai tiba saatnya Atman bersatu dengan Brahman (moksa)
BHIKSUKA home

Setelah melalui tiga dari catur ashrama yaitu Brahmacari, Grhastha, dan Vanaprastha, maka bahasan selanjutnya adalah catur ashrama yang terakhir yaitu Bhiksuka. Bhiksuka juga dikatakan Sanyasin. Namun kehidupan Sanyasin yang benar-benar sesuai dengan Upanisad sangat sulit dilaksanakan. Sanyasin lebih tinggi dari Bhiksuka karena seorang Sanyasin sudah sama sekali terlepas dari ikatan-ikatan keduniawian, bahkan sudah tidak merasa mempunyai anak, cucu, dan keluarga lain, tidak memperhatikan dirinya dan meninggalkan rumah, berkelana menjalankan kesucian dan hidupnya dari meminta-minta atau dana punia masyarakat. Kematiannya yang ideal adalah secara moksa, atau jika belum mampu meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad (layon) maka Sanyasin memilih meninggal dunia di gunung, hutan, atau dipinggir sumber/mata air/sungai yang bersih dan laut.
Dalam sejarah perkembangan agama Hindu di Bali, para Sanyasin itu antara lain : Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Danghyang Nirartha, dll. Yang umum dan realistis dapat dilaksanakan dewasa ini adalah Bhiksuka. Secara sempit bhiksuka dikatakan menjadi Pandita (Pendeta, Romo Pandito, Sulinggih).
Arti lebih luas dari bhiksuka adalah menjalani kehidupan "sebagai" Pandita. Jadi walaupun tidak formal menjadi Pandita (artinya tetap sebagai Walaka, tidak melalui upacara dwijati), tetapi jika cara menempuh kehidupannya sudah mengikuti kriteria Pandita maka dia dapat disebut Sang Bhiksuka.

Bhagawadgita IV.19 :
Yasya sarve samarambhah, kamasamkalpavarjitah, jnanagnidagdhakar manah, tam ahuh panditam budhah.

Artinya : Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya, dan kepercayaannya dinyalakan oleh api pengetahuan, kepada ia dinamakan Pandita oleh orang-orang yang bijaksana. Berbuat tanpa pamrih dalam Upanisad disebut sebagai Niskama Karma dimana keyakinan tentang ajaran Karma Phala sudah mendalam, bahwa Hyang WIdhi akan memberikan kebaikan kepada orang yang berbuat baik dan memberikan keburukan kepada orang yang berbuat buruk. Karena demikianlah hukujhjmnya maka orang yang sudah mendalami ajaran karma phala tidak akan memikirkan hasil karmanya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Hyang Widhi. Orang yang demikian ini sudah tidak lagi hanya "menyatakan" bhakti pada Hyang Widhi, tetapi sudah menjadi "kenyataan" bahwa ia seorang Bhakta yang sejati. Ia adalah orang yang sudah tidak berambisi pada kehormatan, kekayaan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Ia berbuat dharma semata-mata karena bhakti kepada Hyang Widhi (lihat uraian tentang Bhakti-marga). Selanjutnya tentang Jnana Agni yang disebut dalam Bhagawadgita IV.9 adalah kepercayaan pada Hyang Widhi berdasarkan pengetahuan sejati. Orang yang menjalani kehidupan diterangi oleh Jnana Agni, mempunyai pengetahuan tentang ke-Tuhanan melalui pengalaman rohani yang mendalam. Kebijaksanaannya dicerahkan oleh pengetahuan sucinya, bagaikan sinar matahari menerangi kegelapan jagat raya. Orang yang menjalani kehidupan bhiksuka, juga sudah terbebas dari rasa suka dan duka. Mereka disebut sebagai orang yang "Majnyana".
Kitab suci Sarasamusccaya sloka 500, 501, 502, 503, 504, 505, 506, 507, dan 508 menguraikan dengan jelas tentang majnyana, antara lain disebutkan bahwa : Sang majnyana adalah mereka yang tingkat kearifan budhinya tinggi karena pikirannya penuh dengan pengetahuan suci (jnanabala), sehingga mampu melenyapkan kesukaan hati dan kedukaan hati. Kedukaan hati akan menimbulkan kesakitan jasmani, dan kesukaan hati akan memabukkan. Orang yang berbudhi luhur adalah orang yang tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang, jernih, suci dan dalam kesadaran tinggi pada hakekat brahma widya dan atma widya yaitu pengetahuan tentang atman dan brahman
Bila pada masa Bhiksuka seseorang ingin secara formal menjadi Pandita, maka ia harus melalui proses me-Diksa. Diksa dalam bahasa Sanskerta artinya upacara penerimaan menjadi murid dalam kesucian. Istilah lain yang digunakan di Bali untuk me-Diksa adalah : ma-Suci (disucikan), ma-Linggih (kedudukan mulia), ma-Bersih (disucikan), ma-Podgala (menggunakan atribut kepanditaan), ma-Dwijati (lahir yang kedua kali).
Vanaprastha


a. Sukla Brahmacari
Sukla Brahmacari dalam Silakrama dijelaskan sebagai berikut:
“Sukla Brahmacari ngarannya tanpa rabi sangkan rere, tan maju tan kuring Sira, adyapi teku ring wreddha tewi tan pangicep arabi sangkan pisan” (Silakrama hal. 32)
Artinya:
Sukla Brahmacari namanya orang yang tidak kawin sejak lahir sampai ia meninggal. Hal ini bukan karena impoten atau lemah sahwat. Dia sama sekali tidak pernah kawin sampai umur lanjut.
Dalam wira cerita Ramayana, Teruna Laksamana ditampilkan sebagai sosok yang menjalankan Sukla Brahmacari. Betapa pun wanita menggoda, termasuk Raksasa Surphanaka, ia tetap teguh iman melaksanakan Sukla Brahmacari, yakni tidak pernah kawin sampai akhir hayat dikandung badan.
b. Sewala Brahmacari
Tentang Sewala Brahmacari juga dijelaskan didalm Silakrama sebagai berikut:
“ Sewala Brahmacari ngranya, marabi pisan, tan parabi, muwah yan kahalangan mati srtinya, tanpa rabi, mwah sira, adnyapi teka ri patinya, tan pangucap arabya. Mangkana Sang Brahmacari yan sira Sewala Brahmacari”
Artinya:
Sewala Brahmacari namanya bagi orang yang didalm masi hidupnya hanya kawin satu kali, tidak kawin lagi. Bila mendapat halangan salah satu meninggal dunia, maka ia tidak kawin lagi lagi hingga datang ajalnya. Demikianlah namanya Sewala Brahmacari.
Jadi, sudah jelas diberikan batasan bahwa orang yang melaksanakan Sewala Brahmacari itu hanyalah melakukan perkawinan sekali seumur hidupnya. Rintangan apa pun yang menjadi kendala ia tetap berpegang pada prinsip ajaran Sewala Brahmacari.
c. Krsna Brahmacari
Dalam ajaran Tresna atau Kresna Brahmacari sudah diberikan suatu kelonggaran yang lebih terkait dengan masa Grehasta. Tetapi tetap berwawasan dengan hukum alami. Oleh, karena itu, kelonggaran tersebut tidak bersifat liberal. Dalam pengertian Tersna atau Kresna Brahmacari, seseorang diizinkan kawin lebih dari satu kali dalam batas maksimal 4 kali. Itu pun dengan kententuan bahwa seseorang Brahmacari boleh mengambil istri kedua jika istri pertama tidak dapat melahirkan keturunan, tidak dapat berperan sebagai seorang istri (mungkin sakit-sakitan)dan bila istri pertama mengizinkan untuk kawin kedua kalinya.

Klik to Info :