Friday, September 11, 2009
Pura Punca Mangu
Tri Hita Karana
Melalui Tri Hita Karana hendaknya kehidupan ini akan terasa lebih indah,
Tanpa kita pernah sadar,konsep hidup dengan Tri Hita Karana pada saat ini
sudah mulai dilupakan.
1.Hubungan manusia dengan Tuhan.
Mungkin kita bisa menghitung dengan jari dalam satu bulan
brapa kali kita sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atau pernahkah kita ingat akan ajaran-ajaran agama didalam
menjalani hari...?
Sudah saatnya kita mulai sadar,Demi terujudnya kehidupan
yang indah damai,mulai saat ini kita tingkatkan
nilai sepiritual kita untuk menjalankan Dharma,sujud
bakti kita kepada Yang Maha Kuasa hendaknya kita lakukan dengan
tulus dan iklas.Mohon kepada yang maha kuasa akar selalu dituntung
sesuai dengan ajaran Dhrama untuk menuju kebahagiaan.
Dan jangan pernah dilupakan semua yang ada di Bumi ioni adalah Kuasa
Dari Tuhan Yang Maha Esa.
2.Hubungan Manusia dengan manusia.
Dijaman Kali Yuga saat ini,mungkin jarang kita dapatkan lagi
manusia yang mau mengerti akan sesama.Keangkuhan,ke Ego an telah menguasai
manusia saat ini.
Pernahkah kita ingat dan menyadari"aku adalah kamu,kamu adalah aku"...?
Luangkan waktu kita sejenak untuk merenung apa yang telah kita
lakukan untuk sesama kita...!
3.Hubungan manusia dengan alam.
Hutan,tentunya kita semua sudah tahu,setiap hari,setiap bulan,dan setiap tahun
hutan kita selalu bertambah kerusakannya.
Alam yang terus mengalami kehancuran ditengah keserakahan manusia.
Sebelum alam mulai murka,hendaknya kita mulai dari saat ini.
Lestarikan alam,jaga dan rawat alam ini seperti kita merawat diri kita sendiri.
Lakukan yang terbaik untuk alam ini.
Atau renungkan diri kita sejenak,apa yang telah pernah kita lakukan untuk alam ini...?
Pendek kata "Melalui konsep hidup Tri Hita Karana "
Kita wujudkan kehidupan yang lebih bahagia.
Renungkan...!
Monday, September 7, 2009
Pura Luhur Srijong
Bermula dari Sebuah Cahaya
Pura Luhur Serijong terletak di Banjar Payan, Desa Pakraman Batu Lumbang, Antap Selemadeg. Pura ini berlokasi sekitar 15 km dari Tabanan arah barat atau 45 km dari Denpasar. Aura religius sangat dirasakan ketika memasuki areal pura yang terletak di tepi pantai ini. Pura Serijong merupakan salah satu pura di Bali yang letaknya di tepi laut yang salah satu wujud pemujaannya adalah Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan (Ida Batara Segara). Bagaimana sejarah pura tersebut? Makna apa yang bisa dipetik di balik bangunan suci itu?
PENDIRIAN Pura Serijong ini juga memiliki sejarah yang unik. Di mana pada zaman lampau masyarakat sekitar yang kala itu sebagian besar tinggal di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani melihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai yang berbatu karang. Di sekitar cahaya itu, dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di tempat itu yang merupakan batu karang dibangunlah sebuah pura oleh masyarakat sekitar dan diberi nama Pura Luhur Serijong. Maka sangat pantaslah pura yang masih terkait dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra ini berfungsi sebagai penerang, pemberi pengetahuan bagi umat manusia.
Pura Luhur Serijong menurut beberapa catatan dibangun hampir bersamaan dengan Pura Rambut Siwi di Jembrana dan Pura Tanah Lot yakni pada abad XVI Masehi yang masih berkaitan dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.
Sebanyak 24 desa pakraman yang terdiri atas ribuan umat Hindu di sekitarnya menjadi penyungsung dari pura ini sejak turun-temurun. Buda Umanis Prangbakat merupakan piodalan di pura ini yang sangat ditunggu-tunggu oleh krama. Bukan hanya dari daerah Selemadeg, umat dari berbagai wilayah di Bali kerap pedek tangkil ke pura ini. Beberapa pelinggih yang ada di utama mandala pura ini yakni Meru Tumpang Tiga sebagai wahana pemujaan Ida Dang Hyang Dwijendra, Pelinggih Ida Batara Segara, Padmasana, Pelinggih Pasimpangan Rambut Siwi, Pelinggih Ida Batara Rambut Sedana, Pelinggih Taksu Agung dan Pengeruak.
Secara filosofis, selain berupa pemujaan Tuhan dalam wujud cahaya (sinar) pada mulanya, pura ini juga sebagai pemujaan Dang Hyang Dwijendra yang merupakan guru yang sangat berjasa di Bali dan mampu memberikan penerangan. Pemujaan Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan yang dalam Hindu dikenal dengan Dewa Baruna juga menjadi objek pemujaan di pura ini. Selain itu, adanya Pasimpangan Ida Batara Rambut Sedana sebagai sarana untuk memohon berkah dan kerahayuan. Keheningan dan kesejukan membuat pura ini cocok untuk melakukan pemujaan serta meditasi memuja keagungan-Nya.
Pemangku Gede Pura Serijong I Made Suada menuturkan, ada beberapa versi yang berkembang berkenaan dengan keberadaan Pura Luhur Serijong ini. Tetapi secara umum yang paling diterima oleh masyarakat adalah awal pendirian pura ini pada zaman dahulu ketika masyarakat sekitar melihat sinar terang di tepi laut yang berbatu karang tersebut. Diketahui sebagai suatu pertanda baik, maka di tempat ini didirikanlah pura.
Selain itu dalam perjalanannya, Dang Hyang Dwijendra ketika berkeliling Bali menyebarkan ajaran dharma untuk menata umat beragama di Bali, sempat singgah dan melakukan pemujaan di tempat ini. Masyarakat sekitar sangat terkesan dengan aura kepanditaan beliau, sehingga diputuskan untuk membangun pelinggih sebagai sarana memuja beliau sebagai guru bagi umat manusia.
Hingga kini beliau dipuja pada pelinggih utama berupa Meru Tumpang Telu. Sinar terang pengetahuan, wujud bakti kepada Ida Batara Segara, memohon kerahayuan dan hormat pada guru adalah ciri khas dari pura ini.
Beberapa kali, kata Suada, dilakukan rehab atas pura ini, di antaranya rehab besar dilakukan tahun 1949-1950 dan dilakukan upacara ngenteg linggih tahun 1952. Tahun 1996-2003 pengempon pura kembali melakukan rehab dan dilakukan upacara ngenteg linggih serta mamungkah tahun 2003 lalu. Puri Agung Tabanan merupakan pangrajeg dari pura ini, sementara panganceng adalah Jero Subamia.
Segala aktivitas, baik pembangunan fisik maupun upacara tidak terlepas dari peran Puri Tabanan dan Jero Subamia. Bahkan, penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana yang juga Wakil Bupati Tabanan turut aktif mengkoordinir pembangunan beberapa fasilitas pelengkap dari pura ini. Walau keberadaan pura ini cukup aman, namun abrasi selalu terjadi pada areal tepian pantai akibat besarnya gelombang.
Beruntung telah ada beberapa bantuan yang sangat membantu dalam pengamanan pantai dengan tanggul panjang 80 meter dan pemecah gelombang. Abrasi juga mengikis beberapa situs dan peninggalan penting yang terdapat di sekitar areal ini, oleh karena itu perlu mendapat penanganan sebagai langkah penyelamatan.
Selain peninggalan purbakala yang terdapat pada beberapa lokasi, pemangku setempat menyatakan juga terdapat beberapa peninggalan kuno yang berupa arca yang disucikan.
''Payuk'' Kebo Iwa
Areal lain yang masih menjadi satu areal dengan keberadaan pura ini adalah kawasan disucikan yang menurut legenda dan kepercayaan masyarakat setempat merupakan situs peninggalan Kebo Iwa, patih Bali yang sangat termashyur. Di sana terdapat sebuah batu karang dikelilingi pasir dan air laut, berukuran kurang lebih 3 meter, disebut Payuk Kebo Iwa.
Payuk berarti periuk, yang dipercaya milik Kebo Iwo. Di sebelah baratnya, di samping Pura Luhur Serijong, terdapat batu karang yang persis seperti dapur penduduk asli, berukuran lebih kurang 1 x 20 meter. Di sanalah Kebo Iwa diyakini memasak dengan mempergunakan periuknya tersebut.
Di pantai Payan juga bisa dilihat berbagai peninggalan Kebo Iwa yang legendaris. Misalnya dapur, meja, tempat air, tempat duduk, sisa-sisa nasi dan tempatnya bertapa seperti sebuah batu pipih yang sangat halus. Lokasinya di sebelah selatan pura, di kaki jurang yang dalam dan terjal. Peninggalan-peninggalan itu sekarang sudah membatu, untuk melihatnya harus menunggu air laut surut.
Di pantai Payan ini terdapat sebelas kelebutan (mata-air) air tawar warna-warni yang dipercaya bisa membuat awet muda. Juga terdapat pasiraman toya leh yang diyakini tempat permandian Kebo Iwa ketika melakukan misi pengamanan laut.
Di bawah pura terdapat goa yang besar dan dalam. Ujungnya tepat berada di bawah Meru Tumpang Telu. Di ujung goa, terdapat batu menyerupai Padmasana, sthana Ida Sang Hyang Widhi. Goa ini berukuran panjang sekitar 40 meter, jauh menjorok ke dalam, lebar 17 meter serta dengan ketinggian sekitar 10 meter pada bibir goa. Goa ini dihuni oleh kelelawar yang keberadaannya tidak pernah diganggu manusia.
Menurut keterangan pemangku setempat, kelelawar di goa ini berjumlah puluhan ribu yang terdiri atas tiga jenis yang dalam bahasa Bali dikenal dengan jempiit, lelawah dan balongan. Pada hari-hari tertentu, kelelawar ini keluar dan melakukan perjalanan hingga menimbulkan barisan yang sangat panjang.
Di tepi goa ini terdapat Pelinggih Biang Sakti dan terdapat beberapa mata air yang dianggap suci. Namun karena ada aktivitas pembuatan tanggul, beberapa mata air sulit untuk ditemukan kembali. Konon, di situlah dulu Kebo Iwa melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing. Pada waktu-waktu tertentu kedua pengawal itu menampakkan diri. Kawasan yang luasnya beberapa kilometer ini merupakan areal yang dijaga kesucian dan kelestariannya. Bukan hanya karena adanya legenda Kebo Iwa, tetapi diyakini bukan merupakan kawasan sembarangan, sehingga tidak ada fasilitas pariwisata yang dibangun berdekatan dengan areal ini.
Pura Pusering Jagat

Bertanyalah di mana pusat dunia kepada warga Desa Pejeng, Gianyar, maka dengan cekatan mereka akan mengatakan bahwa di Pura Pusering Jagatlah tempatnya. Bagi mereka di Pura Pusering Jagatlah awal mula kehidupan dan peradaban dunia. Keyakinan itu kemungkinan besar karena Pusering Jagat memang berarti pusat semesta.
Pura Pusering Jagat memang merupakan pura penting di Bali. Pura ini termasuk satu dari enam pura kahyangan jagat yang berposisi di tengah-tengah. Dalam kosmologi Hindu, tengah adalah sthana (tempat bersemayam) Dewa Siwa.
Pura Pusering Jagat terletak di desa Pejeng yang di masa lampau merupakan pusat Kerajaan Bali Kuna. Banyak yang menduga bahwa kata pejeng berasal dari kata pajeng yang berarti payung. Dari desa inilah raja-raja Bali Kuna memayungi rakyatnya. Namun, ada juga yang menduga kata pejeng berasal dari kata pajang (bahasa Jawa Kuna) yang berarti sinar. Diyakini, dari sinilah sinar kecemerlangan dipancarkan ke seluruh jagat.
Dalam lontar-lontar kuna, Pura Pusering Jagat juga dikenal sebagai Pura Pusering Tasik atau pusatnya lautan. Penamaan itu akan mengingatkan masyarakat Hindu kepada cerita Adi Parwa yang mengisahkan perjuangan para dewa dalam mencari tirtha amertha (air kehidupan) di tengah lautan Ksirarnawa.
Di pura ini terdapat arca-arca yang menunjukkan bahwa pura ini adalah tempat pemujaan Siwa seperti arca Ganesha (putra Siwa), Durga (sakti Siwa), juga arca-arca Bhairawa. Ada juga arca berbentuk kelamin laki-laki (purusa) dan perempuan (pradana). Dalam ajaran Hindu, Purusa dan Pradana ini adalah ciptaan Tuhan yang pertama. Purusa adalah benih-benih kejiwaan, sedangkan Pradana benih-benih kebendaan. Pertemuan Purusa dan Pradana inilah melahirkan kehidupan dan harmoni.
Di pura ini juga terdapat peninggalan kuno berbentuk bejana yang disebut sangku sudamala yang melambangkan limpahan air suci untuk kehidupan. Di dalam sangku sudamala ini terdapat gambar yang menandakan angka tahun Saka 1251.Friday, August 28, 2009
Tari Janger

Kapankah tari Janger diciptakan? Siapakah penciptanya? Pertanyaan ini bisa diteruskan untuk seni tari lainnya, dan kita tak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Janger barangkali lebih muda dibandingkan Cak. Tetapi, saya tak tahu persis, belum pernah menemukan buku tentang sejarah Janger. Kalau drama tari Gambuh, sudah terbit buku dengan editor Maria Cristina Formaggia. Ini buku tentang Gambuh yang paling lengkap. Gambuh diperkirakan sudah ada pada abad XIV dan terus mengalami evolusi sampai abad XVII. Bentuk tarinya kemudian mengalami ”balinisasi” di abad XIX sampai abad XX. Lalu, ini yang menyedihkan, Gambuh nyaris mati di abad XXI ini.
Bagaimana dengan Janger? Janger Kedaton berusia 100 tahun. Itu berarti Janger sudah berusia seabad lebih, dan kita tidak tahu apakah usia sejatinya dua abad atau tiga abad. Belum ada penelitian ke arah itu, termasuk bagaimana evolusi Janger dari abad ke abad. Bahwa di Banjar Kedaton telah ada Janger sejak tahun 1906 dan terus dipelihara dari waktu ke waktu tentu merupakan prestasi tersendiri. Lestarinya kesenian di sebuah desa di Bali umumnya dikaitkan dengan hal-hal mistis. Janger Kedaton pun demikian. Masyarakat boleh beralih profesi, tetapi kesenian tetap dipertahankan karena dipayungi oleh hal-hal mistis dan sakral. Perjalanan Janger ini menjadi sisi menarik yang layak didokumentasikan.
Seni tari Janger mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Ini disebabkan pola dasar tari Janger adalah adanya dua kelompok yang bertembang saling bersautan. Di daerah-daerah lain Nusantara, jenis kesenian yang bertembang bersautan juga ada, baik berupa kidung tradisional maupun berpantun. Dan, kesenian seperti itu mengalami perubahan yang sama dengan Janger, yakni masuknya unsur-unsur aktual tentang situasi dan kondisi masyarakat pada zamannya.
Janger yang ”tradisional”, meski belum ada penelitian tentang itu, bercerita tentang kelompok muda-mudi yang lagi dimabuk asmara, yang sangat populer di Bali yang dilakukan oleh sekitar 10 pasang muda-mudi. Selama tarian berlangsung kelompok penari wanita (Janger) dan kelompok penari pria (Kecak) menari dan bernyanyi bersahut-sahutan tentang kisah-kisah asmara, dari cara berkenalan, menanyakan identitas, dan menjurus ke rayuan. Semuanya dilakukan dengan riang gembira. Mungkin keriangan itu ciri khas Janger yang tidak mengalami perubahan.. Pada umumnya lagu-lagunya bersifat gembira sesuai dengan alam kehidupan mereka. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari Janger disebut Batel (Tetamburan) yang dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya Janger di Bali diduga sekitar abad ke XX, merupakan perkembangan dari tari sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari paduan suara wanita.
Lakon yang dibawakan dalam Janger antara lain: Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan lain sebagainya. Tari Janger dapat dijumpai hampir di seluruh daerah Bali, masing-masing daerah mempunyai variasi tersendiri sesuai dengan selera masyarakat setempat.
* Di daerah Tabanan tari Janger biasa dilengkapi dengan penampilan peran Dag (seorang berpakaian seperti jenderal tentara Belanda dengan gerak-gerak improvisasi yang kadang-kadang memberi komando kepada penari Janger maupun Kecak).
* Di desa Metra (Bangli) terdapat tari Janger yang pada akhir pertunjukannya para penarinya selalu kerauhan
* Di desa Sibang (Badung) terdapat tari Janger yang diiringi dengan Gamelan Gong Kebyar yang oleh masyarakat setempat menamakannya Janger Gong.
Pada dasawarsa 1960-an, terutama menjelang tahun 1965, Janger di Bali diracuni masalah politik yang mencerminkan adanya pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Ada Janger PKI dan ada Janger PNI dan mereka saling sindir. Pakaian penari pun, terutama kelompok pria, mengalami perubahan sesuai dengan situasi saat itu. Janger kelompok pria memakai celana dan sering di tangannya ada pedang. Jadi, gerak tarinya adalah kombinasi dari gerakan silat. Mereka berteriak dengan cara koor: ”Marhaen menang, Pancasila jaya”, itu bagi Janger PNI. Sedangkan janger PKI bernyanyi koor: ”Sama rata, sama rasa, sosialisme ala Indonesia.” Banyak lagi jargon-jargon khas zaman itu, yang saat ini menjadi sesuatu yang menggelikan untuk dikenang.
”Janger politik” itu tidak lagi bercerita tentang kisah asmara, tetapi ”kisah keluarga”, melalui tembang-tembangnya. Misalnya, Janger kelompok pria bertembang tentang kepergiannya memperjuangkan nasib rakyat, kalau dia meninggal, jangan cari suami yang berlainan partai. Kelompok Janger wanita menjawab dengan tegas, bahwa ia akan melanjutkan perjuangan.
Tetapi tidak semua sekaa Janger terlibat dalam ”politik praktis”. Ada yang netral, namun cara berpakaian dan isi tembang mengikuti perkembangan saat itu. Misalnya, Janger kelompok pria bernyanyi tentang kepergiannya menjadi sukarelawan. Koor yang dikumandangkan selalu diakhiri dengan jargon: ”Ganyang Malaysia”. Janger kelompok wanita bertembang tentang cinta kasih sambil menyiapkan bekal untuk ”mengganyang Malaysia”.
Setelah meletusnya G-30-S/PKI, lama kesenian Janger menghilang. Masyarakat Bali trauma dengan Janger, seolah-olah kesenian itu adalah simbol dari ‘’sisi gelap” Bali, betapa mudahnya orang Bali diadu-domba dan saling membunuh sesamanya. Janger baru muncul kembali di masa Orde Baru. Dan lagi-lagi Janger menjadi corong politik, kali ini ”politik pembangunan”. Maka ada Janger tentang Keluarga Berencana. Meski kisah-kisah asmara masih ada, tetapi itu hanya sebagai pembuka sebelum masuk ke kisah intinya yaitu propaganda pemerintah tentang keberhasilannya. Orang tentu masih ingat, Gubernur Bali Ida Bagus Oka hampir setiap HUT Pemda Bali mengajak stafnya menari Janger.
Sekaa Janger yang kini masih aktif antara lain Janger Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).
Sejarah Janger semestinya diteliti lebih jauh. Kalaupun tak bisa menyeluruh, dimulai dari sejarah Janger lokal. Bagaimana perjalanan Janger Kedaton yang berusia 100 tahun itu, bagaimana perjalanan Janger Peliatan yang termasyur itu. Lagu bagaimana dengan kisah-kisah ”janger politik” yang banyak muncul di Jembrana dan Tabanan di masa lalu. Apa kita harus menunggu penulis asing, seperti halnya tentang Gambuh, untuk membukukan riwayat Janger?